11st - Waktu Indonesia Bagian Mengumpat

103 15 105
                                    

"Makasih ya. Makasih karna kamu memutuskan untuk pulang." - Kama

------------------------------

Setelah mengabari kalau ia tidak bisa ikut serta ke Gianyar, Javi langsung berangkat sendiri, bahkan sebelum jadwal perkiraan. Jadi sudah 2 hari ini, setiap ia datang ke kantor, ruangan laki-laki itu selalu dalam keadaan gelap. Untuk beberapa hari ke depan, ia tidak akan mendengar tak tok tak tok dari dalam sana, juga tidak akan ada ocehan babibu dari mulut bosnya itu.

Panggilan dari Rei, menjeda aktivitas merapikan barang-barangnya.

"Iya, Babe?"

"Kamu jadi beli pewangi ruangan? Aku suruh Tisya anter kamu aja ya, dia flight-nya besok kok."

"Gak usah, aku niatnya mau bareng Desinta."

"Naik apa? Naik motor kan?"

"Ya iya, jam pulang kerja gini pasti macet kalo naik mobil."

"Polusi tau."

Hana berdecak malas, "Gak usah lebay, kayak baru tinggal di Jakarta sebulan dua bulan aja.

Laki-laki itu tidak menjawab, yang terdengar justru suara derit pintu dan lembaran kertas yang seperti sedang dibolak-balik.

"Kerjaan lagi banyak?"

Rei hanya bergumam. Terdengar percakapan lebih dari dua orang dari speaker yang juga melibatkan kekasihnya.

"Aku ganggu ya?"

"Ya enggak lah, kan aku yang nelpon duluan tadi."

Hana menoleh saat Desinta memberinya kode bahwa ia sudah siap untuk pulang.

"Yaudah, aku jalan dulu ya. Aku gak bisa nyamperin kamu ke Makassar, jadi kamu harus aware sama diri sendiri."

"Iya."

"Jangan lupa makan. Jangan terlalu diforsir."

"Hmm."

"Kalo udah capek ya istirahat, jangan maksa, aku tau, kamu kan--"

"Iya, Sayang, iyaaaa. Kamu kapan jalannya kalo dari tadi ngomong terus? Desinta udah nungguin, sana."

"Ih ngusir," Hana sekali lagi menoleh saat Desinta sudah memasang raut wajah datar ke arahnya, "Yaudah, aku jalan ya. Bye, love you."

Hana segera mengemasi asal barangnya yang masih tercecer dan bergegas menyusul Desinta yang sudah keluar divisi.

"Cowo lo lagi di luar kota?" tanyanya saat langkah mereka telah sejajar.

"Iya, biasa."

"Sendiri? Atau--"

"Sama PA-nya," Hana mengobrak-abrik tasnya, mencari jepit rambut yang biasa ia pakai.

"Wah ati-ati tuh. Takut pas pulang ada yang beda."

Hana belum menaruh atensi sepenuhnya pada Desinta yang kini sedang mengoceh sendiri. Saat menemukan barang yang dicari, dengan sigap, ia merapikan rambutnya, menatanya sedemikian rupa agar poni yang telah memanjang tidak menghalangi pandangannya.

"Otak lo sinetron banget."

"Heh jangan salah. Kejadian bos yang jatuh cinta sama asistennya tuh banyak. Siapa tau cowo lo jadi salah satunya."

"Des," Hana menghentikan langkah tepat di tengah lobby, "Gue kalo lagi laper suka sensi, jangan sampe lo gue makan."

------------------------------

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang