39th - Ayam Tiga Kilo

201 13 77
                                    

"Bencong jam 3 pagi baru pada balik, Din." - Haikal

------------------------

Rei benci dengan situasinya sekarang. Jarak yang ada membuat ia kesulitan untuk bergerak cepat ke sana, mendekap tubuh yang mungkin kini telah dingin dan ditutupi kain putih. Bahkan penerbangan paling awal yang ia pilih juga tidak memungkinkannya sampai ke Jakarta dalam sekejap mata.

Tunggu dulu. Sebentar aja, Han. Tunggu aku pulang.

Sedihnya, apa yang wanita itu tinggalkan di hari terakhir pertemuan mereka adalah ungkapan bahwa Hana membencinya, berulang kali. Jika mesin waktu itu nyata, Rei sudi untuk kembali ke beberapa tahun lalu menilik, mengilas kembali, memastikan bahwa tidak pernah sekalipun ia membenci Hana, bahkan ketika wanita itu pernah menjadikannya yang ke dua, Rei masih bisa mencintai Hana sebagaimana mestinya.

Rei tidak membawa apapun bersamanya sekarang, hanya ponsel di genggamannya yang terus bergetar, juga dompet di saku celana. Ini terlalu tiba-tiba, dia tidak memiliki persiapan apapun untuk sebuah kehilangan. Rei tidak menyangka bahwa pulangnya kali ini untuk mengantarkan Hana ke peristirahatan terakhirnya.

"Please don't do this to me. I can't lose you." Lirihan di tengah tangis itu tidak akan pernah terjawab lagi dengan,

"Rei, you'll never lose me. You own me. I promise you."

Bintang-bintang di atas bersembunyi, ikut berduka atas perginya satu-satunya cinta yang Rei punya. Sedih ini terus-terusan menekan, menyesakkan jalur nafas hingga Rei harus membuka jendela untuk menambah pasokan oksigen.

Kasih aku waktu untuk bicara sama kamu. Aku janji gak akan lama, sebentar aja. Setelah itu, aku akan berusaha ikhlas.

Monolog batinnya kali ini terasa lebih menyakitkan, lebih perih dibanding apapun yang pernah ia rasa untuk wanita itu. Sebab ia tahu, Hana tidak akan menunggunya. Hana telah berjalan lebih dulu, pergi jauh ke tempat yang tidak bisa ia gapai.

Taksi yang ia tumpangi terasa mulai tidak nyaman. Caranya melaju mulai tidak karuan dengan kecepatan yang juga tidak stabil. Rei mengencangkan pegangannya pada handle di atas kepala.

"Pak--"

Belum sempat Rei menegur, sebuah mobil SUV hitam yang dari awal terus berada di belakangnya tiba-tiba menyalip, bergerak zig-zag dan menghantam bagian depan taksinya hingga terpental dan membentur pembatas jalan. Rei sudah merapal banyak doa untuk dirinya ketika taksi mulai terbalik. Semua terjadi begitu cepat dan dalam hitungan detik, segalanya berubah hitam.

------------------------

"Dari tadi ya?" Kama mengecek ponselnya dan menemukan angka 19.40 di sana.

"Lumayan hehe."

"Padahal kan aku udah bilang, kuncinya ada di pot lidah buaya. Kamu bisa masuk duluan daripada nunggu sendirian di sini malem-malem. Dinyamukin kan tuh," Kama memungut kunci yang sedikit tersembunyi di balik tanaman dan menyerahkannya pada Hana, "Kamu masuk duluan aja. Aku mau ngandangin motor dulu."

"Gapapa emangnya?"

"Ya ... gapapa. Ini kan juga rumah kamu dulu." Kama menjawab dengan ringan, lalu mendorong motornya hingga ke depan garasi.

Hana masih memperhatikan gerak-gerik Kama, dimulai dari mendorong naik rolling door, membawa motornya masuk, hingga sosok laki-laki itu kembali keluar dari sana.

"Lho, belom masuk juga."

Hana menyerahkan kembali kunci bergantungan sapi itu ke pemiliknya, "Pintu garasi udah gak bisa dipake ya?"

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang