24th - Hubungan Tanpa Tujuan

128 18 174
                                    

"Dan selama itu juga aku jadi orang ke tiga di hubungan aku sendiri!" - Rei

-------------------------------

Satu yang telat Rei sadari, ketika Hana membiarkannya berdiri di batas abu-abu antara iya dan tidak, sudah pasti jawabannya tidak, karena kalau jawabannya iya, Rei tidak akan pernah dibuat menunggu dan bertanya-tanya. Rei sudah ditusuk berkali-kali oleh kenyataan. Lalu diobati hingga luka itu mengering, kembali ditusuk di tempat yang sama, dan siklus itu terus berulang hingga sekarang. Dia telah berdarah-darah untuk Hana, tapi wanita itu tak ayalnya pendonor sejati untuk Kama.

Apa yang dijalaninya selama ini, terasa mengambang, tidak menjejak, lalu dikolaborasi dengan kehadiran Kama, Rei dibuat terbang melambung hingga lupa bahwa Hana masih ada di bawah sana, memilih untuk tetap tinggal bersama laki-laki yang dia pilih.

Di titik ini, lagi-lagi Rei menyalahkan dirinya atas keputusan gegabah yang ia buat kemarin. Sadar atau tidak, tangan dan bibirnyalah yang membuat segalanya menjadi pelik. Kata-kata penolakan sudah hilang sejak Hana memenuhi otaknya hingga ke sudut-sudut tak terjangkau. Jadi, hanya tersisa "iya" yang bisa diucapkan ketika sebuah permintaan terlontar dari mulut kekasihnya.

Rei berdiri, mencari dari laci ke laci, saku celana juga kemejanya, lalu ke kolong meja, namun tak kunjung menemukan apa yang ia cari.

"Tisya."

"......"

"Latisya!"

Wanita itu tergagap, "Hng?"

"Ada yang nyuruh kamu bengong?"

Tisya menghampirinya diiringi ketukan pantofel yang selalu terdengar atraktif di telinga Rei, "Bapak nyari apa?"

"Lighter saya dimana? Kamu liat gak?"

"Yang item itu? Yang ada tulisan Zippo-nya?"

"Ya iya, saya kan cuma punya satu."

"Dibuang Bu Hana."

Air muka Rei berubah tidak suka, "Kapan?"

"Udah lama, waktu itu pas Bapak ke toilet kalo gak salah."

Rei berdecak, "Si anjing."

"Pak?"

Rei lalu mengantongi dua kotak rokoknya dan beranjak keluar dari ruangan.

"Tukang soto ayam yang kamu bilang enak itu dimana, Sya?"

"Deket tukang kue cubit yang waktu itu kita beli, Pak."

"Kamu mau?"

"...mau."

"Kalo gitu, nanti jam 12 jangan kemana-mana ya. Makan siang sama saya."

Rei keluar dengan membawa mug kosong untuk ia isi ulang dengan air putih. Langkah kakinya melambat saat melewati kubikel Nana. Kakinya terayun ke arah sana, membuka satu persatu storage yang laki-laki itu punya. Temannya itu ajaib, segala benda pasti ada di lacinya.

"Nah kan bener."

Lantas Rei membuka ponselnya, mengirimi Nana sebuah pesan.

Rei

*sent a picture*

"Pinjem."

Read, 10.30

Nana

"Hadooh."

"Susah emang kalo duit banyak, tapi jiwa miskin."

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang