17th - Light and Hope

128 14 151
                                    

"Kayak masih perawan aja." - Kama

-----------------------------

Rei membawa genggaman tangannya ke dahi, menumpukan kepalanya di sana. Harusnya, weekend ini mereka habiskan untuk bersenang-senang, namun liburan mereka justru dihabiskan di bangsal rumah sakit.

Untuk kesekian kalinya, Rei gagal. Gagal mengerti Hana, gagal menjaganya, gagal tentang semua hal yang ada di diri wanita itu. Kenapa seakan hanya masa lalu Hana yang diizinkan untuk berhasil? Jadi sebenarnya siapa yang kalah?

Tiap orang punya cara mencintai yang berbeda-beda, kalimat paling omong kosong yang pernah Rei dengar. Keningnya terus mengernyit, berpikir hingga lelah menguasai jiwa dan raganya. Rei kesulitan menemukan jawaban atas pertanyaan yang berjejal di benaknya.

"Kasih tau gue, Kam. Gimana caranya?"

Pahit yang terbawa bersama lirihnya, asa yang ia himpun selama 2 tahun ke belakang, menguap seiring ia yang mulai menyerah atas Hana.

"Gue...bingung."

Genggamannya dikuatkan oleh Hana, wanita itu tersenyum kecil di saat matanya masih terpejam. Sesuatu yang membuat hati kecil Rei tercubit.

"Kenapa sedih gitu mukanya?" mata Hana perlahan terbuka, "Aku gapapa, udah gak sakit."

Rei menggeleng, menolak kebohongan yang baru ia dengar, "Berhenti bilang gapapa."

"Abisnya kalo aku bilang aku kenapa-kenapa, kamu suka lebay, khawatirnya berlebihan."

"Ofcourse."

Hana menyusuri tiap lekuk wajah Rei dan berhenti di pipinya yang sedikit hangat, "Jangan bandingin diri kamu sama Kama, kalian itu beda. Kama ya Kama, Rei ya Rei."

Rei menelungkupkan wajahnya di atas perut Hana, mengatur nafas yang tadi sempat tersendat.

"Aku bukan sebuah kompetisi yang harus kamu menangin, jadi jangan pernah ngerasa bahwa Kama itu saingan kamu. Kama gak pernah kalah, begitu juga kamu. Kalian cuma berjalan di jalur yang berbeda dengan tujuan yang sama, aku."

"Tapi nyatanya aku bukan apa-apa dibanding dia." gumam Rei masih dengan posisi yang sama.

"Emang."

Rei mengangkat kepalanya, "Kan, pait banget."

"Kama punya segudang rasa buat aku dulu, Kama bisa bikin aku ngerasa aman dimana pun aku berada."

"......"

"Tapi kamu? Kamu punya sesuatu yang aku butuhin, sesuatu yang gak aku temuin di diri Kama."

"Apa?"

"Kartu kredit."

Hana tergelak karena air muka Rei yang berubah drastis, ia susah payah mendudukkan diri di tepi kasur hanya untuk memberi kecupan panjang di dahi Rei.

"Tau gak sih kalo aku sayang sama kamu?"

Rei menengadah tanpa senyum di wajahnya, "Kamu sayangnya sama Kama, bukan sama aku. Bahkan setelah 3 taun kalian pisah, aku masih bisa ngerasain kalo kamu masih mau dia."

"Kok ngomongnya gitu?"

Bibirnya tersenyum sumir, Rei menjauhkan tangan Hana yang ada di pipinya, meletakkannya di atas kasur, "Kadang aku nemuin kamu natap aku persis kayak gimana kamu natap Kama dulu. Sedih ya jadi aku? Hahaha, tapi gapapa, aku ngerti, aku gak akan marah."

"Kamu salah kira, aku beneran sayang sama kamu."

"Makasih untuk itu," Rei mengeluarkan ponselnya, "Kamu lagi kangen sama dia ya?" ia lalu menyerahkan ponselnya yang sedang membuat sebuah panggilan, "Semalam, kamu manggil-manggil Kama."

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang