40th - Terluka

160 10 11
                                    

"Gue ngerasa kita udah gak sedeket dulu, tapi kalo lo tanya pendapat gue, menurut gue, mungkin kali ini lo harus berjuang sendirian." - Haikal

-----------------------------

Harusnya Rei paham, semua ini terlalu tidak masuk akal. Apa yang terjadi pada Hana, kecelakaan yang wanita itu alami, lalu yang terjadi pada dirinya di dalam taksi, tangisnya yang terkesan tak beralasan. Semua fakta itu mengerucut ke satu kata, mimpi. Dia tertidur di atas kursi kerjanya dan bangun dalam keadaan mata sembab dan pipi yang basah. Rei lega karena itu semua hanya bunga tidur, tapi saat ia membuka riwayat panggilan, ia mengumpat karena ada nama Abi di sana. Telepon laki-laki itu nyata. Abi akan datang ke Jakarta.

"Sial."

Dentuman musik kian malam kian memekakan telinga. Kali ini Rei tidak ikut bergabung ke lantai dansa, ia hanya mengamati dari atas lautan manusia yang bergerak lincah bagai gelombang yang mengikuti arus. Klub malam tidak akan ada matinya. Dari atas sini Rei bisa lebih leluasa melihat bagaimana para bajingan di bawah mencumbu gadis yang mereka mau, mencari rasa bibir juga ukuran dada yang pas dengan tangan mereka.

Rei tertawa, "Can I get one?" Ujarnya parau, lalu menenggak lagi cairan yang hampir tandas itu. Dia kembali ke meja bar, duduk di stool, mengamati bibir gelas berkakinya yang masih tersisa sedikit brandy.

"Hennesy? You had a taste, Babe."

Suara merdu itu memasuki rungunya. Rei menyipit, pandangannya terhalang oleh poni rambut yang mulai memanjang dan menusuk mata. Saat ia menyugar rambutnya ke atas, yang ia temukan adalah seorang wanita berambut hitam sebahu. Matanya mengerjap berat, "Pretty."

Wanita itu tertawa lalu menaikkan sebelah alisnya, "Can I join?"

"Join me if you're solo."

"And what about you?" Wanita itu bertanya lagi.

Rei suka saat tubuh mungil itu meringsak maju dan memaksa berdiri di antara pahanya, menggerakkan jemarinya dari punggung tangan hingga bahu Rei. "Gue sendirian," dia meminta satu gelas lagi pada barista untuk tamu barunya. "So, who owns these pretty eyes?"

"Davee. E-nya dua," Davee menyangga kepalanya dengan tangan di meja bar dan diikuti Rei, "Pacar lo gak ikut?"

Rei menggeleng lemah, "Gak punya pacar." Kerjap matanya semakin berat, ia merutuki dirinya sendiri karena sudah minum terlalu banyak. Rei lupa kalau setelah ini ia harus menyetir. Saat Rei coba membuka ponselnya untuk meminta bantuan seseorang, pegangannya meleset, alhasil ponselnya terjatuh di antara kaki Davee. "Oh shit."

Rei membiarkan Davee yang memungutnya. Raut wajah wanita itu berubah total saat melihat lockscreen apa yang terpasang di ponsel Rei.

"You're engaged?"

Rei tersenyum pahit, lantas ia rebut kembali ponselnya, mengamati foto apa yang tertampil di sana. Ada dirinya yang sedang mencium pipi Hana yang kala itu tersenyum cerah saat memamerkan jari manisnya ke kamera. "Belom sempet tunangan, udah keburu putus."

"Kenapa? Dia cantik."

"Lo juga cantik. Siapa tadi? Davi yaaaa?" Rei sudah tidak kuat lagi menahan pusing yang kian membuat kepalanya memberat dan berputar. Bahu Davee cukup menarik untuk ia jadikan sandaran saat ini. Rei melabuhkan dahinya di sana, membaui wangi apa saja yang tercium hidungnya, dan yang berhasil ia kenali hanya satu. Rei terkekeh, ia memaksa kepalanya untuk terangkat, menatap lurus kornea berlapis softlens itu, lalu tersenyum gemas, "I think I like you."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang