"Gue bikin mampus." - Jericho
----------------------------------
Sepulangnya dari pantai untuk menyaksikan matahari tenggelam yang tidak lagi indah, Hana mengurung diri di kamar, melewati makan malam yang sudah Septi masak khusus untuknya. Ketukan di pintu juga paksaan untuk keluar dari Jericho tidak ada yang ia respon. Hana sedang tidak baik-baik saja untuk berinteraksi dengan teman-temannya. Di antara sunyi yang Hana ciptakan, matanya tertarik ke paper bag hitam yang baru ia sentuh beberapa menit lalu semenjak Jericho memberinya di apart kemarin. Rei mengganti ponselnya dari brand yang sama hanya saja dengan versi yang terbaru.
"Han," pintu kamarnya kembali diketuk, "Buka dong. Gue mau ngobrol sama lo."
"Nanti aja."
"Buka gak? Gue dobrak nih."
Hana masih bergeming, tidak mungkin juga Nana benar-benar merusak fasilitas milik orang. Namun, saat ketukan di pintu berubah menjadi gedoran tidak beretika, Hana bergegas turun dari kasur, takut-takut Nana serius dengan ucapannya.
"Bener ya? Gue jebol nih pintu. Satu...dua--"
"Iya, bentar, iya!" Hana membuka lebar pintunya dan disambut oleh wajah masam Nana, "Mau apa?"
"Bolot apa gimana? Kan gue bilang, mau ngobrol."
Nana menerobos masuk, bahkan saat Hana belum menyingkir dari ambang pintu. Awalnya, Hana berniat menutup rapat kembali pintunya, tapi ketika ingat dengan siapa dia sekarang, pintunya ia biarkan terbuka lebar.
"Balik dari pantai, lo langsung masuk kamar, ngerem kayak ayam. Bini gue udah masak, lo tetep gak mau keluar. Sopan kali begitu?"
"Enggak."
"Udah tau enggak, kenapa gak keluar?" Nana berujar sembari berjalan mondar-mandir di depan lemari berisi pakaian yang belum sempat ia tata.
"Belom laper."
"Mau laper, mau enggak, ya tetep keluar. Ada usaha orang yang perlu dihargain."
"Berapa sih?"
Demi Tuhan. Hana murni hanya berniat bercanda akan ucapannya barusan, ia bermaksud mencairkan suasana karena Nana yang kelewat serius, tapi sepertinya laki-laki itu tidak menangkap dengan baik umpan lambungnya.
"Ulang coba. Ngomong sekali lagi. Gue tampar tuh mulut."
Hana tergugu, lalu dengan cepat mengeluarkan sebuah tawa paksa, "Bercanda."
"Muka gue keliatan lagi pengen diajak bercanda?"
Mau menjawab "iya", takutnya Nana benar-benar menamparnya. Hana memilih diam, mengamati kakinya yang bergerak tak tentu karena menggantung di tepi kasur.
"Keseringan dimanjain sama Rian jadi gini nih, seenak jidat."
"Apa sih, Na? Gue cuma bercanda tadi, beneran."
Keduanya menoleh ke ambang pintu, ada Septi di sana yang sepertinya tidak sengaja lewat, lalu menyempatkan diri untuk berhenti, "Mau makan gak, Han? Apa gue bawain ke sini? Siapa tau lo lagi gak enak badan."
"Gak usah," pungkas Nana, "Dia punya kaki. Dia juga gak sakit. Biar dia keluar ambil makan sendiri entar."
"Ya gapapa, Yang. Aku juga lagi nyantai."
"Denger gak aku bilang apa barusan? Gak. Usah. Perlu aku ejain juga biar kamu ngerti?"
Akibat pernyataan bernada rendah Nana, Septi langsung beranjak pergi, meninggalkan senyum pahit untuk Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of Longing | Huang Renjun
Fiksi Penggemar"It's about silence that sounds so loud." Waktu tidak pernah menjanjikan suatu pertemuan, tapi ia janji, apa yang seharusnya berada di lorong itu, selamanya akan tetap berada di sana. 3 tahun berjalan, Hana menemui kebuntuan di jalan gelap tanpa pel...