35th - On The Edge of A Knife

108 15 21
                                    

"Aku sedih karna aku gak tau nantinya gimana kalo aku kangen kamu." - Kama

-------------------------------

"Tell me again, salahnya ada dimana? Gue atau dia?"

Lalu Rei pergi begitu saja setelah mengusak asal matanya yang berair, meninggalkan Kama di garis abu-abu. Kama menatap kosong kartu akses apartemen Rei yang ada di tangannya. Tidak ada debat atau tanya sebelumnya, Rei memberi kartu itu secara cuma-cuma.

Kama mengangkat kepalanya, menatap angka yang tertera di sebuah pintu coklat. Tangannya terangkat ragu, terus maju-mundur, sampai dimana ia tetap menempelkan access card itu pada magnet platform. Ada yang salah saat ia mendorong pintu di depannya, lalu ketika kakinya mencoba melangkah masuk untuk pertama kalinya, ruangan itu tidak lebih dari ruangan hampa yang seakan jarang ditempati oleh pemiliknya. Semakin Kama masuk, semakin Kama mengerti, apartemen ini hanya sebuah tempat tanpa nyawa hari ini, atau mungkin memang seperti ini biasanya?

"Hana," Kama mengetuk satu-satunya pintu yang tertutup, "Hana, aku masuk ya."

Berbeda seperti biasanya, Hana tidak meringkuk di dalam selimut, ia duduk di tepi kasur dan kakinya dibiarkan menggantung begitu saja. Air mata yang melunturi maskaranya meninggalkan jejak di pipinya yang cerah. Kama mendekat, berdiri di depan Hana, mengamati kacau yang tergambar jelas di wajah Hana.

"Aku boleh duduk di samping kamu? Aku mau ngomong."

Yang Hana beri adalah sebuah gelengan dan Kama tidak akan memaksa, ia tetap berdiri di depan Hana hingga wanita itu memintanya duduk.

"Apa yang kamu rasain sekarang? Coba cerita ke aku, sakitnya dimana, kamu sesak atau enggak, kamu masih pengen nangis atau enggak. Gapapa kamu gak mau ngomong sama Rei, tapi harus ngomong ke aku."

Hana mengusap kasar matanya yang berair hingga noda hitam itu melebar ke pelipisnya, "I hate him, really."

Kama tertawa kecil, "Wah, ternyata ada laki-laki lain yang kamu benci selain aku ya?" Kama berjongkok di depannya, menengadah, melihat Hana dari bawah, lalu tersenyum tipis, "Kamu inget gak? Kamu pernah bilang kayak gitu juga waktu kita lagi berantem hebat. Kamu bilang, kamu benci aku sambil teriak histeris di depan auditorium abis aku seminar. Kamu mukulin aku di sini nih," Kama menunjuk dada kirinya, "Dan inget gak gara-gara apa kamu marah segitunya sama aku? Gara-gara aku lebih milih ikut kelas Statistika dibanding ngerayain anniversary bareng kamu."

"Tapi aku sama Rei--masalahnya gak sesederhana itu. Kamu gak ngerti!" seru Hana.

"Iya, sstt. Gak perlu teriak, Hana. Kamu bisa ngomong baik-baik. Aku bakal lebih mudah mengerti kamu kalo cara bicara kamu pelan-pelan, gak kayak gini."

Hana menolak, ia terus menggeleng dan membuat Kama mengernyit bingung dengan Hana yang ada di hadapannya sekarang.

"Kamu gak bisa ngebandingin masalah yang pernah aku hadapi sama kamu dengan masalah yang aku hadapi sama Rei sekarang. Itu dua hal yang berbeda, jelas banget--"

"Ini bukan tentang aku yang membanding-bandingkan, tapi tentang emosi kamu yang gak pernah stabil. Kamu selalu kayak gini, Han. Setiap ada masalah, dari dulu, sama, gak ada yang berubah sedikitpun," pungkasnya selagi jari-jari Kama bergerak lincah di atas ponsel, "Kenapa?"

Kama seketika lupa akan tujuan utamanya meminta Hana untuk bertemu. Cincin itu masih ada di sana, di jari manis Hana, tapi itu tidak bisa dijadikan jaminan hubungan kedua temannya itu akan bertahan lama saat ini. Melihat bagaimana keegoisan Hana untuk pertama kalinya tergambar jelas di mata wanita itu membuat Kama menghela nafas berat.

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang