22nd - The Deal We Made

140 13 249
                                    

"Dia ngelemparin gue pake duit. Itu udah termasuk kelewatan belom, Ri?" - Erika

----------------------------

Hasratnya untuk datang ke acara Nana langsung anjlok hingga ke palung terdalam karena sejak pagi Rei tidak berhenti bolak-balik ke kamar mandi akibat mie goreng pedas yang ia makan semalam. Kurang lucu apa kalau semisal dia tiba-tiba kebelet di tengah ijab kabul.

Pesan permohonan maafnya kepada si pemilik acara hanya dibalas dengan nama hewan berbulu berkaki empat. Bukannya menyiapkan mental untuk "saya terima nikahnya", Nana justru "halah anjing".

Dari tempatnya, Rei bisa melihat Jericho yang sedang mematut diri di depan cermin. Rambut yang ditata sedemikian rupa, menampilkan dahi yang tak kalah mengkilap dari jam di pergelangan tangannya.

"Gak pernah kepikiran kalo gue harus berbagi kasur sama lo, manusia berbatang."

Rei berdecak, "Gue juga ogah. Gak enak. Gak bisa diapa-apain."

Jericho memutar badan dan mendapati Rei yang belum memakai jasnya, "Buruan. Udah siang."

Dengan gerakan lamban, Rei bangun dari kasur, menyabet jasnya, dan berjalan menuju pintu.

"Kunci Mercy mana?"

Rei merogoh sakunya dan melempar kunci tersebut ke arah Jericho yang juga ikut melempar kunci Pajeronya.

Dirinya menatap sejenak kunci hitam itu, lalu melemparnya kembali kepada pemiliknya, "Lo aja yang nyetir," setelahnya, Rei keluar unit dengan langkah gontai.

Deretan pesan Hana belum ia balas dari semalam. Bahkan pagi ini, ia sengaja menonaktifkan ceklis birunya. Rei benar-benar butuh ketenangan.

"Ketenangan kayak gimana yang lo cari kalo orang mati aja masih didoain biar tenang?"

Kata Jericho saat dirinya masih terjaga di jam 3 pagi. Selamanya manusia tidak akan pernah menemukan ketenangan kalau mereka tidak mau mencoba untuk berdamai dengan keadaan.

Tidak ada pertengkaran hebat di pertemuan terakhirnya dengan Hana, hanya percikan api kecil tentang kegelisahannya menanti hari ini. Beberapa jam ke depan yang menjadi penentu, apakah Rei harus meniup padam lilinnya atau justru mencari sesuatu yang lebih terang agar wanitanya tidak tersiksa dalam gelap.

"Yaaaa apaaa?"

Rei menoleh ke belakang dan melihat Jericho yang sedang berbicara dengan seseorang di telepon.

"Ini ada, di depan gue. Kenapa?"

Kedua alisnya terangkat, menunggu identitas si penelepon dari mulut Jericho.

"Iya, bentar--Hana nih," Jericho mengulurkan ponselnya, namun tak kunjung disambut oleh Rei, "Woi! Ini!"

Rei mengibaskan lengannya, "Nanti aja, udah telat kita," ia berjalan lebih cepat. Sayup-sayup terdengar suara Jericho yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya sedang menyudahi panggilan.

Gapapa kan ya sekali-kali begini?

Lagi pula, kalau hanya untuk kata maaf, Rei sudah menerimanya dari kemarin, toh mereka juga akan bertemu nanti malam. Dengan sedikit senyum dan tatapan memohon, Rei pasti luluh. Memang benar, yang murahan itu dirinya, bukan Hana.

"Lo yakin gak mau ngehubungin Hana dulu? Siapa tau urgent."

"Nanti."

Jericho sudah duduk di bangku pengemudi, memandang bingung tingkah temannya yang terasa lebih redam dari semalam.

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang