"Panggil Rei aja. Kita udah gak ada relasi formal." - Rei
--------------------
Sebagai bentuk privilege berkedok belas kasihan yang diberi Javi padanya--dengan alasan Hana yang butuh waktu untuk bersedih--sekitar jam 10, bunyi langkah kakinya terlah terdengar di gedung perkantoran Rei. Bukan tanpa alasan ia bertandang ke sini. Sudah genap dua hari laki-laki itu tidak memberinya balasan pesan apa-apa, bahkan pesan terakhirnya di dua hari lalu hanya berakhir dengan ceklis satu hingga sekarang. Hana tidak bodoh untuk tidak mengetahui bahwa dirinya diblokir.
Hana masih menunggu Nana turun untuk menemaninya selama berada di sini karena Tisya yang nomornya ikut tidak bisa dihubungi. Hana sedang menyesap Cinnamon Latte-nya saat Nana datang dari arah barat dan menempati kursi di sebelahnya.
"Tisya gak masuk--"
Hana mengangkat kepala, "Oh ya?"
"--dari 2 hari lalu."
Sebuah kebetulan yang membuat Hana ingin tertawa. Apa-apaan, batinnya. Latte yang seharusnya manis berubah pahit seketika. Cangkir putih itu sudah ia letakkan kembali dengan isi yang baru berkurang beberapa sesap saja. Hana meraih tas jinjingnya lalu berdiri dan diikuti Nana.
"Lo tau kosan Tisya dimana?"
Nana menggeleng, "Iman tau."
Tanpa mengucap sepatah dua patah kata lagi, Hana pergi dari sana, mencegat taksi yang lewat saat ia membuat sebuah panggilan ke orang yang dimaksud Nana. Tidak ada basa-basi atau sekedar "halo" yang Hana ucapkan saat teleponnya diangkat. Hana tidak butuh waktu lama untuk menerima sebuah share location dari Jericho, dan berujung ponselnya ia serahkan ke supir sebagai GPS.
Otaknya buntu. Hana sama sekali tidak bisa berpikir jernih untuk mengambil keputusan. Pikirannya terpusat pada Tisya dan kepergiannya yang tiba-tiba. Hana menggigiti kuku-kuku jarinya, ia gugup dengan apa yang akan ia temui nanti di kos wanita itu.
Butuh waktu 12 menit untuk sampai di sana, di sebuah bangunan dengan jejeran pintu abu-abu yang sepertinya baru di cat ulang. Dengan berbekal info yang Jericho beri, Hana menelusuri angka 8 yang berarti kamar wanita itu. Kalau Hana tidak salah hitung, kamarnya ada di pintu ke empat dari tempatnya berdiri. Kakinya terayun mendekat, berjarak dua pintu, ia melihat seseorang keluar dari sana yang ternyata adalah ... Jericho.
"Lho, Han? Gue kira lo bercanda mau ke sini. Ada perlu apa?"
Hana diam sejenak, melihat Jericho yang sepertinya baru akan pergi dari sana, "Tisya mana?"
"Ada--hei! Han!"
Seruan itu terdengar karena Hana yang menerobos masuk begitu saja, menepis tubuh Jericho yang menghalangi pintu.
"Han, bentar. Lo gak bisa asal masuk kayak gini kali. Ini rumah orang." Jericho menghalangi langkahnya.
"Lo minggir. Gue gak ada urusan sama lo." Hana terus mencari celah untuk masuk lebih dalam, namun Jericho lebih cepat menutup ruang, "Je!"
"Lo kenapa sih? Lo kayak gak punya sopan santun tau gak. Lo kalo ada perlu sama Tisya ya sabar. Dia lagi di kamar mandi."
Kos yang Hana tandangi sekarang tidak besar sehingga ia yakin suaranya pasti terdengar dari depan hingga ke belakang. Benar saja, Tisya muncul dari belakang Jericho dengan handuk yang terkalung di leher.
"Bu?"
Baik Jericho maupun Hana melihat ke arah yang sama. Hana menerobos masuk hingga tidak ada lagi penghalang antara dirinya dan Tisya yang kini memandangnya skeptis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of Longing | Huang Renjun
Fanfiction"It's about silence that sounds so loud." Waktu tidak pernah menjanjikan suatu pertemuan, tapi ia janji, apa yang seharusnya berada di lorong itu, selamanya akan tetap berada di sana. 3 tahun berjalan, Hana menemui kebuntuan di jalan gelap tanpa pel...