Bruk!!
Astaga! Es jeruk itu tumpah di baju putih abu-abu milik seorang remaja lelaki berusia 17 tahun yang baru saja keluar dari kelas menuju kantin. Air jus itu tentu meninggalkan bekas pada baju yang masih bersih miliknya. Hal itu juga membuat segenap pasang mata memandang intens ke mereka berdua.
Arka Dion Athama, lelaki itu berdecak kesal, matanya menatap sang pelaku kesalahan yang berani melakukan hal itu dibajunya.“Bangsat!! Lo....” Caci yang hendak keluar dari mulutnya seketika menghilang, ketika matanya tajam menangkap sosok didepannya dengan gelas plastik dan sedotan.
“Astaga!! Sorry ngga sengaja. Bener!” Ucap remaja ber-name tag Fachrel Asegaf, sang pelaku kesalahan.
Arka menarik nafas dalam-dalam, meremas tangannya sendiri kuat-kuat. Bukan, bukan amarahnya yang hilang tadi, hanya saja niatnya yang hilang. Kalau kesalnya sih masih setengah mati. Arka tidak mau menanggapi ulah anak itu. Bukan karena Fachrel seorang penguasa sekolah, atau ketua geng dan sebagainya. Nyatanya dimata Arka anak itu hanya seorang anak yang sepantaran tapi sikapnya yang seperti anak sok dewasa. Menyebalkan. Tapi entah takdir dari mana Fachrel selalu berakhir berurusan dengan Arka.Bagi Arka, sosok Fachrel hanya sarang penyakit. Banyak luka yang tidak mau Arka ungkit, banyak kenangan buruk yang tidak pernah Arka ingin ingat.
Arka meraih gelas air jus ditangan Fachrel yang cenderung lebih kecil dari miliknya, menumpahkan sisa jus yang ada, sebagai timbal balik ketimbang cuma mengeluarkan celoteh tidak berguna. Hal itu berhasil membuat Fachrel sama emosinya, matanya melotot seolah mau memakan manusia.Arka sedikit membungkukkan badannya menyamai tinggi Fachrel yang tidak terlalu tinggi. Dia menaikkan sebelah alisnya, berucap dengan santainya.
“Impaskan??”
“Tadi gue udah minta maaf kan? Lo denger kan Ran?”tanya Fachrel tanpa melepaskan pandangannya dari mata elang milik Arka.
Pertanyaan yang terlontar membuat teman disampingnya terhenyak dari bengongnya atas apa yang baru saja terjadi. Buru-buru dia menjawab pertanyaan Fachrel dengan mantap.
“Iya!” jawab Garan, satu-satunya teman Fachrel.
“Garan denger apa yang gue bilang, harusnya sebagai manusia Lo tau apa artinya itu.” Ketus Fachrel.
“Oh! gue paham! ”Arka mengacungkan jari dengan ekspresi senang saat mendapat maksud ucapan Fachrel, “maaf! Gue juga minta maaf banget, beneran!” lanjutnya.
Maaf itu jelas tidak terdengar sebagai penyesalan, ditambah lagi Arka mengucapkan dengan ekspresi wajah yang minta ditonjok.
Arka memang selalu bisa membuat emosi seorang Fachrel yang banyak diamnya jadi terpancing. Pokoknya Fachrel hanya bisa menahan emosi dengan membuang nafasnya, mengalihkan pandangannya ke sekitar. Ternyata selalu sama, mereka berdua selalu menjadi pusat perhatian ketika terlibat masalah begini.
Dengan marahnya yang ditahan, Fachrel meninggalkan tempat setelah sebelumnya memandang sinis kearah Arka.Sama seperti halnya Arka melihat bagaimana Fachrel dimatanya, Fachrel pun memandang Arka dengan penilaian yang sama, Arka itu hanyalah anak yang menyebalkan dan agak kekanakan, meskipun usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Itu yang menyebabkan keduanya tidak pernah akur, bahkan seisi sekolah pun tau. Sejak kelas sepuluh dia berkelahi dengan Arka dan berakhir di ruang BK. Mendapat banyak omelan dari Paman Arya saat Ayahnya tidak bisa menjemputnya, karena sibuk. Dan beruntungnya pada saat itu wali dari Arka, Ibunya, baru bisa datang ke sekolah sehari setelahnya. Karena sedang dalam perjalanan ke kampung halaman Arka untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal katanya.
Itu keributan terakhir diantara mereka yang terpampang nyata, tapi setelah itu perang dingin antara mereka selalu terjadi ketika keduanya selalu bertemu. Selain karena tidak ingin berakhir di ruang BK berdua lagi, mereka juga tidak ingin jika orang tua mereka harus dipanggil ke sekolah lagi, tidak, itu terlalu beresiko. Jadilah, mereka yang harus mengalah salah satunya jika sedang ribut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.