Chapter 2 : Bunda?

2.6K 109 10
                                        

Tidak ada hidup yang mudah, setiap orang memiliki lukanya masing-masing. Tidak ada manusia yang memiliki kehidupan mulus tanpa halangan. Fachrel sadar itu, meskipun sekilas nampak hidupnya biasa saja, tapi siapa yang tahu besarnya lubang hitam yang menyerap kebahagiaannya. Dia tidak menunjukkannya.

Matanya menyisir setiap sisi rumah, rumah yang semakin terasa dingin dan asing. Kakinya perlahan berjalan menuju kamar melewati ruang tengah. Tapi tiba-tiba langkah Fachrel terhenti kala berpapasan dengan seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar Ayahnya. Tubuhnya kaku, wajahnya bingung dan mulutnya kelu. Bingung harus berbuat apa, meskipun ini bukan yang pertama, tapi kenapa rasanya tetap sama? Fachrel masih merasa asing. Padahal wanita itu terlihat begitu baik dan ramah.

"Fachrel, kamu sudah pulang?" tanya wanita itu sembari berjalan menghampiri.

Fachrel semakin bingung, seperti otaknya berhenti bekerja ketika harus merespon tanya wanita itu.

"Iya, Bun." Singkatnya.

Hati Fachrel bergejolak, ada rasa tidak terima, marah dan sakit yang meradang setiap kali bibirnya dipaksa untuk menyebut wanita itu seperti dia memanggil Bundanya sendiri. Karena dimatanya sosok Bunda itu hanyalah Bunda Marisa, atau sering dia sebut Bunda Ica. Ah! Bahkan dia hanya memanggil Bundanya dengan sebutan Bunda saja.

Tapi perasaannya itu harus Fachrel pendam sendiri, karena dia menghormati orang dihadapannya, keputusan Ayahnya dan keinginan Ayahnya. Dia sadar betul Ayahnya mungkin kesepian hidup sendirian, setelah 10 tahun Ibunya meninggalkan Ayahnya dengan meninggalkan tanggung jawab untuk mengurus dirinya seorang diri tanpa bantuan Bunda lagi. Barangkali Fachrel terlalu merepotkan hingga Ayah juga memutuskan untuk menikah lagi.

Meskipun kalau dipikir-pikir, Fachrel tidak senakal itu, bahkan dia selalu menuruti perintah Ayah. Entahlah, Fachrel juga tidak tahu lagi dengan yang terjadi dihidupnya. Yang jelas, dia hanya ingin berusaha untuk tidak membebani orang lain, dan mencoba memahami Ayah. Sebagai satu-satunya yang dia punya.

"Bunda sudah siapkan makan siang, sehabis ini langsung ganti baju dan makan dulu ya!" wanita itu menyentuh lengan Fachrel lembut, kaget sekali Fachrel hingga tanpa sadar gesture kecilnya memundurkan tubuhnya beberapa inci.

Wanita itu juga sedikit kaget, rupanya anak dari suami barunya itu masih tampak belum bisa menerima dirinya sepenuhnya.

"Tante Vania itu tidak memiliki maksud apapun dengan mu Fachrel. Katakan pada Tante kalau kamu merasa kurang nyaman. Saya tidak akan memaksa kamu untuk secepat ini menerima saya. Tolong ungkapkan saja apa yang kamu tidak bisa ungkapkan. Karena saya juga seorang Ibu. Saya paham perasaan kamu dan Arka. Maaf.... Jika ini terlalu tiba-tiba. Tapi percayalah apa yang menjadi tujuan Tante dan Ayahmu untuk kebaikan kalian, anak-anak kami. Terimakasih ya sudah berusaha menerima saya. Ajari saya untuk menjadi seorang Ibu seperti yang kamu inginkan."

Ucap pelan wanita itu, dengan nada yang sangat lembut.

Fachrel tidak merespon, hanya diam sesaat sebelum memutuskan untuk membawa langkahnya menuju kamarnya.

Ya, Vania mencoba mengerti dan tidak ingin memaksakan Fachrel untuk menerimanya dengan mudah. Karena dia paham anak itu juga banyak terluka, anak itu juga mungkin banyak menyimpan air mata dibalik diamnya, dan sikap penurutnya. Sebagai seorang Ibu, Vania tentu bisa merasakan hal yang mungkin tidak bisa dipahami oleh Bian dalam mendidik dan memahami seorang anak, naluri seorang Ibu.

Dari bahu sempit itu, Vania seperti bisa merasakan beratnya anak itu harus menegakkan badannya. Dari tubuh kurus itu, samar terasa rapuh untuk sekedar melewati hari. Dari manik hazel itu, tersirat pandangan sendu yang penuh dengan sembilu yang membiru.

Tapi Vania terlalu baru, untuk mencoba mencari tahu. Terlalu jauh untuk menarik tangan anak itu. Belum lagi separuhnya harus dia ulurkan pada putranya sendiri yang juga sekarang terasa semakin jauh untuk direngkuh.

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang