Jumlah populasi manusia di bumi itu banyak sekali, bebannya mungkin sanggup membuat bumi menangis. Berisiknya sudah menjadi satu kesatuan seperti harmoni. Namun, ada beberapa tempat yang memang masih memiliki sunyi. Ada pula yang sengaja tidak ingin menciptakan bunyi.
Seperti sekarang ini, setelah memaksakan diri untuk memilih makan diruang makan dari pada sarapan itu diantar dikamar sendiri, Fachrel dengan tenang menyantap bubur yang telah disiapkan ditemani sang Ayah yang sedang menyesap segelas kopi.
Belum ada suara yang menggema selain, denting sendok dan mangkuk bubur disana. Bian tau anaknya sedang marah akhirnya hanya bisa memandang Fachrel dengan segala kegiatannya. Otaknya mencari ide yang dapat mencairkan suasana dari tadi.
"Dek, kepalamu masih pusing?" tanya Bian membuka obrolan.
"Nggak."Tegas, padat, singkat dan jelas.
Bian tidak mampu menyalurkan percakapan lebih lanjut kali ini. Hanya helaan nafas mereka yang terdengar mengisi sunyi. Tapi, biarkan Bian mencobanya sekali lagi.
"Ingin makan sesuatu tidak? Ayah belikan."
"Nggak."
Bian sudah kehabisan topik, dia tidak tahu harus mencari bahan obrolan macam apa lagi jika Fachrel sudah menjawab begini. Dan akhirnya Bian kembali bungkam.
Faktanya, senyap lebih lihai mengambil alih waktu untuk diisinya daripada konversasi yang gampang sekali terpangkas habis oleh kata-kata singkat, dari salah satu mereka.
"Wahh, disini toh? Pantas saja dari tadi dipanggil dari depan nggak dengar. Punya rumah sebesar bandara sih kamu, Mas!" ujar lelaki yang tiba-tiba hadir tanpa tau dari mana datangnya.
Lelaki itu ikut menarik kursi diruang makan, menuang jus disana tanpa malu, dan menyela ruang yang ada diantara Bian dan anaknya.
"Kamu tuh Ya, kebiasaan kalau masuk nggak pakai permisi,"
Teguran Bian hanya mendapat cengiran dari lelaki itu. Dia bahkan tidak menganggap teguran itu sebagai hal yang serius.
"Om Arya dari mana?" tanya Fachrel tanpa menatap lawan bicaranya.
"Dari apartemen saja, memang kenapa?"
"Nggak sih, tumben aja main. Sejak Ayah nikah lagi, Om jarang banget kesini kan?"
"Iya juga ya. Terus ceritanya kamu kangen gitu?" ledek lelaki yang Fachrel sebut Om Arya itu.
"Nggak lah. Om kalau kesini Cuma bikin rusuh kenapa musti dikangenin?"
"Justru itu! Kalau yang rusuh nggak ada kan jadi sepi nggak seru. Jadi dikangenin."cengirnya.
"Kalau seisi dunia isinya modelan kamu dan Ayahmu, dunia monoton banget nggak sih? Ada yang hilang jadi nggak ketahuan. Nggak kerasan juga."
"Oh jadi harus rusuh dulu ya, biar kalau hilang dicariin? Dikangenin? Jadi yang seperti itu yang seru?"
Arya tertawa sumbang, rasanya ada yang dia sesali dari sekian panjang ucapannya. Karena entah belajar dari mana ponakannya itu bisa membalikkan perkataannya.
Bian pun merasakan demikian, dia merasakan sensasi yang berdesir pedih saat kalimat Fachrel mengudara. Tampak ada sarkasme juga disana yang mungkin coba Fachrel sampaikan.
"Makan kalau kamu belum makan Ya!" Bian mengalihkan topik.
"Wahh, iya-iya belum makan memang aku Mas! Bi Ambar masak banyak hari ini." Arya celingukan melihat semua hidangan diatas meja.
Arya mengangguk-angguk setelah mendapati piring Bian tersisa roti berselai coklat, lalu dia bergulir menatap mangkuk dihadapan Fachrel yang masih tersisa bubur yang terlihat tidak menggugah selera. Seketika itu membuat Arya bertanya-tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.