Hari ini mungkin merupakan hari mujurnya seorang Fachrel. Seharian ini diawal minggu, Fachrel tidak terlibat masalah apapun disekolah, dan juga tidak bertemu orang paling dia hindari, yaitu saudara tiri yang juga merangkap sebagai musuh bebuyutannya. Dia juga diantar jemput Pak Murdi, sang supir. Sehingga terhindar dari Ayahnya yang kebetulan juga hari ini berangkat kerja lebih pagi.Biarkan Fachrel bernafas lega dulu kali ini. Setelah kemarin sesak yang mencekik membuatnya hampir memilih menyerah.
Dipandanginya langit kamar dalam baringnya, yang masih mengenakan seragam sekolah. Sampai sore hari ini, dia belum juga bertemu dengan Vania, memberikan kelegaan tersendiri juga.
Tapi dia tidak tahu apa besok leganya masih tetap sama atau akan berganti dengan sesak yang akan kembali datang. Pikirannya menyabang mengingat perkataan Bian, bahwa Arka akan tinggal disini. Dan kemungkinan dalam waktu dekat ini, anak itu akan benar-benar datang kemari.
Fachrel menghembuskan nafas panjang, belum juga dia menerima dengan sepenuhnya kehadiran Vania disini. Malah harus ditambah kehadiran anaknya juga, yang dasarnya tidak memiliki hubungan yang baik diantara dia dan Fachrel.
Akan seperti apa nanti kehidupan Fachrel kedepannya. Dia tidak tahu apa dia akan sanggup menahan diri atau tidak, sebab ketahui sendiri bagaimana seorang Arka itu bersikap. Rasanya tidak akan sanggup mungkin, lalu bagaimana nanti Ayahnya akan menilainya jika dia kelepasan emosi.
Padahal dia juga sudah janji, bahwa tidak akan mengganggu kenyamanan keluarga baru itu.
Otak Fachrel berkelana mencari jalan keluar agar tidak mengingkari janji. Pikiran yang sudah seperti benang kusut itu dia paksa, dia tarik dengan sekuat tenaga meskipun pusing juga.
Tiba-tiba saja ada sebuah ilham entah darimana, benang kusut dalam pikiran Fachrel menemukan ujung jalan keluar. Hanya ada satu nama yang bisa membantunya, dan hanya ada satu cara untuk menjadi jalan tengahnya.
Arya, tidak ada tempat lain, dan tak akan ada orang lain. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menghindari Arka dan Ibunya, agar keinginan Ayahnya terkabul untuk mereka tinggal serumah dengan nyaman.
Tidak ada sudut kota yang bisa Fachrel tuju selain apartemen Om-nya itu.
Sesegera mungkin dia mengemasi barang-barang, seperti buku pelajaran, seragam dan banyak setelan baju dia kemas. Tak lupa obat-obatannya.Setelah itu dia memesan taksi online, dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Hanya ada Bi Ambar yang entah sedang mengerjakan apa, intinya Fachrel tidak berpapasan atau melihatnya didalam rumah sebelum pergi.
Dia membuka pintu taksi yang sudah menunggu didepan gerbang, lalu sopir itu membantu dengan mengangkat koper memasukkannya ke dalam bagasi. Sementara punggungnya menggendong tas ransel yang lumayan berat dengan berbagai barang didalamnya. Baru saja akan menutup pintu mobil. Tiba-tiba tangannya dijegal oleh seseorang.
“Mau kemana Mas?” tanya satpam penjaga rumah.
“Ada urusan Pak, nanti Ayah juga tau. Permisi.” Fachrel menjawab sekenanya. Sebelum akhirnya dia menutup pintu dan meminta sang sopir untuk melajukan mobilnya.
Kemudian sesegera mungkin mobil itu membawa Fachrel semakin jauh dari rumah. Tanpa sepengetahuan Ayahnya. Sungguh dia tidak peduli nanti Ayah akan mengomel seperti apa, atau mengatai dirinya bagaimana, yang jelas Fachrel telah menyiapkan jawaban yang menjadi alasan kuat kepergiannya.
★★★
Sehabis Maghrib, Fachrel berdiri didepan pintu masuk tempat tinggal Arya. Dia mengetuk pintu itu, takut-takut Arya sedang tidak ada dirumah, karena dia datang tanpa memberikan informasi.
Tok!Tok!
Beberapa kali ketukan itu berhasil membuat sang pemilik ruang, membuka pintu dan menyembulkan kepalanya.
"Loh! Dek?!"Arya membelalakkan matanya, dan langsung membuka pintu dengan lebar. Memandang Fachrel dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Fachrel hanya membuang nafas dalam-dalam, dari tampangnya Om-nya pasti baru bangun tidur.
"Kamu ngapain disini? Terus ini apa?"
Tanyanya sembari menunjuk ke arah koper besar disamping Fachrel.
"Om, Aku menginap disini ya?"
"Apa?"
Tak cukup rasanya Fachrel memberi kejutan dengan datang tiba-tiba, lalu pertanyaan macam apa yang keluar dari bibir nya kali ini? Ah! Ini mengagetkan sekali bagi Arya.
"Nginap Om, ya?"
Arya menepuk pipinya sendiri seolah menyadarkan diri sendiri.
"Ayo masuk, dulu. Kita bicarakan didalam." Arya menarik masuk Fachrel.
Langkahnya terhenti diruang tengah, yang sedikit berantakan dengan kertas yang terserak. Arya dan Fachrel mengambil posisinya masing-masing, di sofa.
Dengan tatapan serius, Arya menatap keponakan itu.
"Jadi, apa yang terjadi? Alasan kamu nginep disini itu apa?"
"Om, Ayah bilang Arka bakal pindah kerumah Om. Aku aja belum sepenuhnya nerima Tante Vania."
Fachrel mendesah, menunjukkan kemuakkannya pada kondisi sekarang."Tapi itu rumah Ayah, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Aku juga paham Ayah pasti nggak pengen aku ganggu kenyamanan mereka. Tapi, aku mana bisa gitu. Satu-satunya cara ya mungkin aku saja yang pergi."
Arya meraup wajahnya kasar, mendengar penuturan Fachrel dia betul-betul tidak habis pikir. Ada perasaan kesal di dadanya, tapi tidak ia tunjukkan. Itu hanya akan mempengaruhi Fachrel. Yang bisa dia lakukan adalah mendukung keputusan Fachrel, dan membimbingnya.
"Oke ngga apa-apa. Kamu boleh nginep disini. Tapi ngomong-ngomong kapan Arka bakal pindah? Terus kamu mau nginep berapa lama disini?"
"Kata Ayah kemarin.... Beberapa hari lagi, entah hari ini, besok atau lusa. Aku nggak tau dan ngga mau tau. Kalo seberapa lamanya, sampai aku nemu tempat lain."
Arya merasa bersalah kala jawaban itu terucap, terlebih beberapa kalimat akhirnya. Seolah Arya tidak memiliki empati pada ponakannya. Dia tidak begitu, dia tidak akan tega membiarkan anak itu melewati semuanya sendiri.
"Nggak perlu cari tempat lain. Tinggalah disini semau kamu. Tempat Om selalu terbuka buat kamu. Tapi ada satu hal, yang perlu kamu janjikan."
"Apa?"
"Jaga kesehatan kamu sendiri. Jangan buat Om khawatir dan ketakutan."
Fachrel tersenyum sesaat, lalu mengangguk beberapa kali.
"Om jangan khawatir."
Perkataan Fachrel membuat Arya menaruh percayanya. Dengan Fachrel memutuskan untuk tinggal bersamanya itu lebih baik, daripada anak itu justru pergi ketempat lain tanpa memberikan kabar siapapun.
Meskipun itu bukanlah Fachrel sekali, karena anak itu selalu berusaha patuh untuk tidak membuat keluarganya khawatir. Tapi anak itu bisa saja bertindak demikian. Kalau emosinya sudah tidak terkendali. Karena pada dasarnya dia tipe yang benci merepotkan orang lain. Arya tau benar hal itu. Jadi kemungkinannya masih tetap ada.
Oleh karena itu, Arya patut mengucap syukur, meskipun dia harus mengawasi anak itu dengan ekstra. Ataupun akan ada masalah pasti yang akan menghampiri dengan keputusan ini. Sejak sekarang dia memutuskan untuk pasang badan untuk Fachrel.
Meskipun dulu dia pernah selalu berada di sisi yang sama dengan Bian dalam hal menjaga Fachrel. Kali ini dia sudah tidak bisa lagi sejalan dengan kakak kandungnya itu dalam mengurus keponakannya.
Fachrel kembali, ada yang rindu? Beberapa hari disini jadi berminggu-minggu di dunia nyata ya..
Thanks for voment! Jaga kesehatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.