Hujan,
Suaranya kadang menenangkan
Tapi kadang begitu mencekam.
Menakutkan
Seolah sarat hal duka yang akan datang.
Acara makan-makan diruang tengah berlanjut dengan Bian yang sudah mandi. Fachrel tetap ditempat duduknya, tidak menyentuh makanan yang Bian bawa, selain sesuap kue ulang tahun yang Vania bagi untuknya, sedang Fachrel tidak mampu menolak didepan Ayahnya.Sesekali Fachrel hanya menjawab singkat, tentang obrolan kedua orang tuanya. Menjawab ketika Vania yang tiba-tiba melempar tanya sederhana. Diam nya Fachrel tidak mempengaruhi suasana bahagia diruang itu.
Hingga tiba-tiba saja senyum Vania yang meluntur. Kala hanya sekian detik sunyi datang tanpa menggempur. Perubahan ekspresi wajah Vania yang tidak terlalu bisa Fachrel baca, nyatanya bisa dikenali baik oleh Ayahnya.
“Kenapa Bun?”
Vania menggeleng cepat, kemudian tersenyum yang sedikit dipaksakan. Pastilah Vania gagal membohongi Bian.
“Ayah tidak suka dibohongi Bun,”
Kemudian Bunda menatap lamat Ayah, dengan tatapan mata yang menyendu.“Yah, Bunda teringat Arka.”
Bian memandang Fachrel sesaat, kemudian merengkuh Vania, dia mengusap lembut bahu wanita itu dengan maksud menenangkan perasaan Vania.“Ya sudah kita kesana sekarang. Kita rayakan bersama Arka juga.”
Tanpa ba-bi-bu Bian mengabulkan keinginan Vania. Apa ini yang disebut prioritas? Sedikit rasa cemburu meliputi Fachrel yang sedari awal memang tidak baik-baik saja disana.
“Ayah serius?”
“Tentu.”senyum Ayah, ”kamu juga ikut ya Dek!” titah Bian selanjutnya.
Fachrel yang awalnya sedang bengong dengan segala pikirannya, tersentak mendengar perintah Bian. Matanya membulat, lalu alisnya melengkung hampir menyatu. Jelas, ekspresi itu menandakan ketidak setujuanya. Baik Vania atau Bian pasti bisa menangkap maksud wajah Fachrel yang menyatakan penolakan.
Bibir Fachrel baru saja ingin melayangkan protes, tapi Vania sudah terlebih dulu mengambil alih.
“Mas, Fachrel mungkin lelah, biarkan saja dia istirahat.”
Sekali lagi, Vania mencoba mengerti Fachrel. Dia tidak ingin baik dirinya sendiri atau bahkan Bian memaksakan kehendaknya, karena dia tahu anak itu sudah terlalu mengorbankan perasaan selama ini. Terlebih ketika harus menerima kenyataan pernikahannya dengan Bian.
Cukup, Vania ingin baik dirinya atau Bian bisa lebih mengerti keinginan anak itu beserta lukanya yang terasa begitu kelam dan biru. Yang menyebabkan warna yang dia beri hanya kelabu.
“Nggak apa-apa Bun, besok itu hari Minggu, kan? Harusnya kita juga lebih sering mempertemukan Fachrel dan Arka. Agar mereka bisa saling mengenal lebih jauh.”
Vania terdiam, bagaimana Bian berkata, menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya mengerti anaknya sendiri. Bagaimana bisa Arka dan Fachrel bisa saling mengenal lebih jauh. Sedangkan dirinya yang sudah hampir satu tahun disini saja belum bisa menjangkau Fachrel. Bahkan kehadiran Bian yang selalu mencoba melakukan yang terbaik saja belum kunjung diterima Arka. Itu terdengar hampir mustahil ditelinga Vania. Meskipun demikian, Vania tidak membantah, dia pikir masih ada sekian persen untuk hal yang Bian katakan itu mungkin akan membawa dampak yang positif bagi keduanya. Mungkin saja.
Sedangkan Fachrel hanya bisa lagi dan lagi menahan diri untuk tidak meluapkan emosi. Dia hanya bisa menerima lagi, apa yang diputuskan Ayahnya. Meskipun sesaknya menggebu ingin ditumpahkan dengan seribu argumen penolakan pada Ayahnya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
Ficção GeralHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.