Pagi datang begitu cepat, mungkin semalam juga terasa sangat melelahkan. Selesai beberes pun Arka langsung tidur tanpa tau kapan lelapnya. Badannya menggeliat diatas kasur empuk itu, dikamar baru yang masih terasa asing.
Dia meraih ponsel diatas meja, melihat tertera pukul 06.07 disana. Arka bergegas mandi dan bersiap ke sekolah, kalau bisa tidak berbarengan dengan Fachrel sampainya. Karena dia benar-benar belum siap untuk membuka rahasia ini kepada siapapun. Kecuali sahabat-sahabat karibnya Gibran dan Nando.
Disisi lain, Vania kembali pada rutinitas paginya. Menyiapkan sarapan dan menatanya diatas meja makan.
Matanya beberapa kali melirik pada suaminya yang sedang mengaduk-aduk kopi yang dia suguhkan tanpa gairah untuk meminumnya.
Wajah Bian terlihat lelah meskipun dia sudah sempat istirahat semalam. Vania paham penyebabnya, setelah menunggu hingga hampir dini hari, Bian pulang dengan wajah lesu. Dan ketika Vania menanyakan hasilnya, Bian hanya menjawab bahwa Fachrel ada bersama Arya, dan akan dijemput lusa.
Bian tidak menjelaskan apa yang terjadi atau bagaimana detailnya. Dia hanya tersenyum untuk menyembunyikan perasaannya. Dan Vania mengerti itu. Apapun yang terjadi antara Bian dan anak kandungnya, selagi Bian tidak ingin menceritakan, maka Vania tidak akan memaksa. Dia tau batasnya.
Vania akan memaksa Bian bercerita jika itu diluar hubungan dari Dia dan Fachrel. Karena keterbukaan itu penting dalam rumah tangga, meskipun begitu tetap ada batasannya.
"Yah, mau makan pakai apa? Sayur sopnya mau?"tanya Vania sembari mengisi piring Bian dengan nasi.
Tanya itu dimaksudkan Vania agar Bian bisa sadar dari lamunannya. Dan berhasil, nyatanya Bian benar-benar tersentak mendengar tanya sang istri.
"Iya terserah Bunda." Jawab Bian sedikit tergugup.
Tangannya sigap menggeser kopinya kesamping, untuk menyisakan ruang meja dihadapan sebagai tempat piringnya.
Tak disangkal memang bahwa otaknya sedari tadi selalu kepikiran tentang Fachrel, tentang keributannya dengan Arya dan banyak kalimat Adiknya itu yang masih tersimpan segar didalam memori ingatan.
Hingga tanpa sadar dia lupa bahwa itu bisa membuat Vania semakin merasa bersalah nantinya. Bian akhirnya mencoba mengalihkan perhatiannya, mengendalikan perasaannya dan merapikan menutupi sebentar pikiran kusutnya.
"Arka mana?"
Bian mencoba mengubah suasana, dengan tanya yang menunjukkan perhatiannya.
"Bentar lag-"
"Ma, aku berangkat dulu."
Panjang umur, tiba tiba saja Arka datang bahkan sebelum Vania sempat menjawab pertanyaan Bian. Alih-alih datang untuk sarapan, ternyata dia datang hanya untuk berpamitan. Dan hanya Vania saja yang dia ciumi tangannya. Ingin tersinggung, tapi Bian sedang tidak ingin menambah masalah.
"Sarapan dulu, Ka."ucap Bian.
"Nggak, makasih!" Ketus Arka.
Meskipun menjawab dengan nada yang tidak bersahabat sama sekali, itu masih lebih baik daripada biasanya anak itu hanya akan diam tanpa menjawab.
"Arka! Mama sudah masak nih! Nggak ada nolak, harus sarapan!" Tegas Vania.
Dengan menggerutu terlampau pelan, Arka menarik kursi. Dan menerima nasi goreng yang Vania ambilkan.
Sembari menyantap makanan itu, matanya beberapa kali teralih. Mencari presensi yang lain dihadapan. Tanpa sadar dia berharap, tanpa sadar dia menginginkan pertemuan dengan orang itu, Fachrel. Dan tanpa sadar sedari tadi tindak tanduknya dapat ditebak oleh Vania.
"Kenapa Arka?"
Arka menggeleng cepat dan menahan malu ketika gerak geriknya tertangkap mata Vania.
"Fachrel sedang pergi. Kamu nyari dia, kan?"lanjut Vania.
Ah! Arka semakin malu saja mendengar kalimat Mama. Dan dia berlagak seolah tuli. Menambah kecepatan makannya, agar segera pergi menyelamatkan harga diri.
"Aku? Nyari dia? Ngapain? Aku cuma penasaran sama beberapa ruangan." Ucapnya sebelum menenggak air bening digelas.
Sungguh tidak tau malu! Dia makan dirumah yang bahkan dia terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya didepan pemilik rumah. Tapi, bukan salah Arka juga. Siapa yang memaksa agar dia tinggal disini? Kan, mereka. Jadi ini resikonya.
Bian terdiam tanpa kata. Sedang tidak ingin menanggapi perkataan Arka dengan dalam. Bahkan hanya memikirkan Fachrel saja sudah membuatnya pening. Sementara Vania, dia tersenyum kikuk pada Bian, tak enak hati dengan sikap anaknya.
" Ya sudah, aku selesai! Aku berangkat Ma!" Ujar Arka setalah menyisakan setengah minumnya.
Kemudian dia pergi seolah tanpa dosa. Melangkah dengan lebar mengindari dari suasana memalukan baginya diruang makan.
Mencari Fachrel? Memalukan sekali!
★★★★★
Fachrel sendiri justru sedang mogok sekolah. Katanya malas dan inilah, itulah. Sampai pusing Arya membujuk tapi disangkal dengan seribu alasan.
Ya, keponakannya itu memang murid yang cukup pintar. Selain dibidang akademik, Fachrel juga sangat pintar beradu argumen dengan Om nya. Padahal saat dihadapkan dengan Bian anak itu terbilang jarang mengeluarkan suara. Hanya menjawab iya-iya saja. Atau tidak jika dia benar-benar bisa berkata demikian.
"Dek!! Ayo dong sekolah! Sudah hampir setengah delapan itu!" Teriak Arya sembari mengeluarkan bubur dari plastik yang baru saja diantar ojek online.
"Om, aku capek. Nanti kalau aku kambuh Om Arya yang tanggung jawab!"
"Halah, muka nggak menunjukkan kalau kamu bakal begitu!"
"Ya kalau muka memang nggak bisa bohong, Om. Aku ganteng dari sananya. Mau sakit pun tetap ganteng." Ucapnya dengan wajah datar.
Arya rasanya kehilangan selera makan ketika mual datang pada saat mendengar Fachrel yang dengan narsisnya memuji diri sendiri.
"Narsis!"
"Fakta!"
"Oke, kalau kamu mau izin, tapi kamu harus janji untuk tetap disini! Jangan keluar! Om akan izinkan kamu ke guru disekolah. Dan setelah ini Om harus ketemu orang design, buat bahas cover novel."
"Iya-iya Om!"
"Ya sudah sarapan dulu."
Tanpa ba-bi-bu kali ini Fachrel menurut dengan perintah Arya. Daripada dia ditendang dari apartemen dan jadi gelandangan.
Lagipula, dia masih beruntung karena dapat izin libur sekolah hari ini. Dia malas menanggung sekian kemungkinan untuk bertemu dengan Arka.
Dia hanya ingin dirumah, berteman dengan sepi yang sepertinya sudah menjadi sahabat karibnya setelah kehilangan Bundanya. Menikmati waktu dalam hening membiarkan pikirannya bertengkar, berharap menemukan titik akhir yang menjadi penerang.
Menjadi ujung dari kusutnya isi kepala karena hal yang tidak bisa dia abaikan begitu saja.
Update darurat.
Aku baru pulang, bukan Fachrel. Lanjut ga? Kalo ga, ngga apa-apa. Author lanjut Hiatusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
Ficción GeneralHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.