Sudah 2 Minggu lamanya, suasana rumah jauh dari baik-baik saja. Apalagi sejak kepergian kedua putra dari sang pemilik rumah.
"Bagaimana ,Ya? Udah ada perkembangan?" Tanya Bian yang sedang menjaga Vania.
Istrinya yang jatuh sakit, memaksa Bian untuk berhenti dalam andil mencari putra mereka.
Arya yang berdiri bersandar pada tembok, menundukkan kepalanya. Menghembuskan nafasnya panjang.
"Aku belum nemuin dia. Setelah aku ke rumah Garan dan nggak menemukan petunjuk apapun, aku sudah mencari kemana-mana. Aku nggak tau harus cari adek kemana lagi Mas, bahkan satu-satunya temen terdekatnya aja nggak tau adek dimana."
Bian memejamkan matanya sejenak, menenangkan diri. Atas segala kekhawatiran yang semakin hari semakin bertambah besar. Sudah selama ini anak kandungnya pergi. Bahkan Bian tidak tahu bagaimana kondisi anak itu. Apa dia masih sering kambuh? Atau sudah makan kah? Tidur dimana setiap malamnya kini? Sungguh Bian sedang menenangkan hati dan pikiran, tidak mau mempengaruhi Vania dengan itu semua.
"Mas...." Vania yang berbaring di kasur empuk itu tampak lesu. Dia menyentuh lengan Bian sesaat, membuat kesadaran Bian kembali.
"Terus bagaimana dengan Arka?"
Arya sempat terdiam sejenak. Sungguh dalam pencarian Arya, Arka bukanlah tujuan awalnya. Tapi terpaksa ikut mencari anak itu karena permohonan Bian.
"Belum ada petunjuk juga. Intinya, baik aku dan orang-orang suruhan Mas Bian, yang aku koordinir untuk mencari mereka berdua, belum menemukan petunjuk apapun," jelas Arya dengan jelas.
Lalu Bian menatap mata Vania dalam-dalam seolah mengerti kegelisahan yang di rasakan Vania. Bian pun memeluknya. Mencoba menenangkan Vania yang kembali menangis.
"Kita pasti menemukan mereka," ucap Bian pelan. Tidak peduli apakah Vania akan percaya atau tidak. Tapi kalimat itu setidaknya tidak akan membiarkan begitu saja Vania kehilangan harapannya.
"Ya sudah, Ya, terus kan pencariannya. Terima kasih sudah mau membantu Mas mencari mereka sejauh ini. Tapi Mas mohon bantu Mas untuk selanjutnya sampai mereka ketemu," pinta Bian.
Arya mengangguk dan tersenyum samar, "Ya sudah, siang ini aku harus pulang buat mengurus beberapa hal habis itu aku lanjutkan pencarian,"
Bian berdeham, dan mengangguk menyetujui,"Hati-hati!"
Mau seberapa sulit kedepannya, mau seberapa lama Bian tidak akan menyerah untuk terus melakukan pencarian. Dia harus menemukan putranya. Demi dirinya, ketenangannya, demi Vania juga.
★★★★
Prang!!
Satu bantingan benda berbahan seng yang menggelegar dari dalam, menyambut Arka yang baru pulang dari bengkel saat matahari terbenam. Dengan segera Arka berlari membuka pintu kontrakan sederhana itu. Matanya melotot, semua piring bercecer dengan sendok yang tak beraturan dilantai.
"Papa!!" Sentak Arka melihat Papa-nya kembali memberantaki meja makan.
Dengan mata merah dan rahang yang menegang, Papa berjalan mendekati. Menatap Arka dengan mata yang menyiratkan amarah yang menyala.
"Heh!! Kamu gimana sih, Ka!! Mana duit kamu?! Tadi Bu Asih nangih uang kontrakan!! Kamu kerja mana gajinya?! Kamu sembunyikan ya dari Papa!!" Bentak Rully.
Arka berjalan mundur saat Papa-nya semakin menyudutkan.
"Mana uang simpanan kamu yang lain?!! Sini kasih Papa!! Mau pelit kamu sama Papa kamu sendiri?! Mau durhaka kamu sama orang tua kamu yang udah nampung kamu disini?!" Teriak Rully di depan wajah Arka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.