Arka mendapat mandat dari Mama untuk membangunkan Fachrel. Jika tidak ada rasa penasaran yang besar, sebab sejak pulang sekolah Arka belum melihat seujung kuku pun Fachrel keluar dari kamar. Arka akan menolak perintah Mama kali ini. Tapi, ada rasa penasaran dan janjinya untuk meminta maaf pada Fachrel yang mendorong Arka akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju ruangan yang tidak pernah dia masuki sebelumnya.
Arka mengetuk pintu itu beberapa kali. Tanpa memanggil sang pemilik kamar untuk membukakan pintu. Sekian kali, dia mengetuk pintu itu tidak pula dibukakan. Akhirnya Arka memutar kenop pintu yang ternyata tidak terkunci.
Matanya mengedar menyisir seisi ruangan kamar Fachrel yang simpel dan rapi. Dia melihat sang empu tertidur dengan selimut sebatas dada. Dan ada satu hal yang menyita perhatiannya. Satu benda yang pernah dia lihat sekali dulu. Segenap rasa bersalah menyeruak memenuhi ruang dada Arka. Dia memandang wajah Fachrel yang tertidur dengan bibir pucat nya.
Tangannya memegang masker yang terhubung nebulizer diatas meja dibawah lampu yang menyala temaram. Arka tak enak hati ketika akhirnya anak itu harus kembali kambuh karena keteledorannya.
Arka meletakkan masker bekas Fachrel pakai itu ketempat semula. Dia menyenggol bahu Fachrel.
"Bangun!"
Fachrel tidak bergeming dan hanya mengerutkan keningnya tanpa membuka mata.
"Fachrel Asegaf! Bangun! Susah amat dibangunin!" Arka menaikkan volume suaranya.
Fachrel melenguh, matanya menyipit melihat kearah orang yang ada didekatnya.
"Ngapain ke kamar gue?" Ketus Fachrel pelan sambil menarik selimutnya lebih keatas.
"Itu disuruh makan malam sama Mama. Kalo nggak disuruh manggil lo gue juga malas mau masuk kesini, ngapain? Kurang kerjaan!" Elak Arka mengalihkan perhatian kearah Sekitar tanpa mau melihat Fachrel.
Fachrel kemudian bangkit dari tidurnya, mencoba duduk meskipun pening masih mendera kepala.
"Sembarangan langsung masuk! Nggak punya sopan santun!" Protes Fachrel.
"Lo aja yang budeg! Gue udah ketuk ratusan kali tetap aja Lo nggak bangun dan buka pintu! Nggak usah melabeli orang sembarangan!" Ujar Arka dengan kesal.
Lalu dia melengos meninggalkan tempatnya berdiri.
Fachrel masih memandang Arka dengan tatapan kesal. Dia pada akhirnya mencoba berdiri dengan sebaik mungkin. Kemudian dia berjalan perlahan untuk memenuhi perintah Vania. Tapi, kepalanya sungguh tidak bisa diajak kompromi.
Pandangannya berputar, sakit dan pening tidak bisa dia tahan barang sebentar saja. Hingga badannya kehilangan keseimbangan dan limbung ke lantai dingin itu.
Arka mendengar suara jatuhnya Fachrel lantas menoleh kebelakang. Mendapati anak itu sedang terduduk di lantai dengan memijat kepalanya sendiri.
Arka berjalan sedikit terburu. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu Fachrel berdiri. Fachrel memandang uluran tangan Arka yang mengarah padanya. Dia menampik tangan itu.
"Nggak usah! Gue bisa sendiri!"
Arka tersenyum sinis, sudah selemah itu saja dia masih bisa bersikap arogan. Batin Arka.
Lantas Fachrel mencoba kembali berdiri dengan berpegang pinggir ranjang. Tapi bahkan baru selangkah berjalan, tubuhnya kembali terhuyung sembarang arah! Dan beruntungnya masih ada Arka didekatnya dan sigap menangkap tubuh Fachrel, hingga tidak jadi terpuruk di lantai kedua kalinya.
Sial! Fachrel malu ketika harus menerima bantuan Arka.
Dari kontak fisik itu, pertemuan kulit lengan Arka dan Fachrel, membuat Arka merasakan sensasi panas dari kulit Fachrel. Anak itu demam ternyata. Tambah besar rasa bersalah Arka pada Fachrel jadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.