Aku sakit ...
Tapi bukan fisikku.
Aku mati....
tapi bukan raga ku.
Aku menangis....
tapi tak nampak air itu dimata ku.
Aku berteriak....
Tapi tidak pula aku berseru._L
Dengan jeli matanya menelusuri jalanan yang belum terlalu jauh dari kontrakan Arka menggunakan mobil. Hujan turun cukup deras, hingga membuat pandangan mata cukup buram. Bian yakin betul, anaknya belum jauh dari area itu. Tapi nyatanya dia belum mampu menemukan Fachrel dari tadi. Pikirannya semakin tak karuan, karena anaknya itu bahkan pergi tanpa membawa payung.
Manik coklat pekatnya merotasi kesana-kemari, mencoba menemukan yang dicari. Memelankan laju mobil, dijalanan. Karena fokusnya harus terbagi antara menyetir dan mencari putranya.
"Dimana sih kamu dek...." gumamnya.
Matanya menyipit, memaku fokus pada satu titik. Dimana didepan sana ada seorang anak yang sedang duduk di halte bus, dengan baju yang kuyub dibawah penerangan lampu yang seadanya. Setelah diamati benar saja itu adalah Fachrel, yang duduk diantara beberapa pengendara motor yang meneduh menghindari hujan.
Bian buru-buru menepikan mobilnya, segera turun dan menghampiri putranya disana.
"Dek! Ayo pulang!" titah Bian, tangannya meraih tangan dingin Fachrel.
Menariknya memasuki mobil, tanpa menghiraukan pandangan beberapa orang yang entah sedang berpikiran macam apa pada mereka.
Fachrel tidak memberontak, dia mengikuti tarikan tangan Bian yang membawanya masuk kedalam kendaraan Ayahnya itu. Dia duduk didepan, disamping kursi kemudi yang diduduki Bian.
Tangannya mengusap bahunya pelan, guna memberikan sedikit kehangatan pada kulitnya yang terlapis jaketnya yang basah menembus kaos hingga dingin berhasil mencapai kulitnya.
"Dingin kan?" tanya dingin Bian.
Jangan salah dengan sikap Bian, dia bertanya dengan nada dinginnya karena dia sangat khawatir dengan kondisi Fachrel yang terlihat tidak baik-baik saja.
Tapi Fachrel yang masih dilanda emosi tidak mampu untuk berpikir demikian. Nyatanya pembelaan Ayahnya pada Arka menguatkan bahwa mungkin posisinya sebagai anak mulai tergantikan oleh Arka secara perlahan.
Fachrel bahkan masih enggan menjawab pertanyaan Bian. Membiarkan Bian melakukan apa yang dia mau, dan menganggapnya seperti angin lalu. Apalagi perlahan dinginnya air hujan yang menyentuh kulit seperti perlahan menusuk ketulang. Dingin sekali, dan Fachrel enggan juga untuk mengatakan keluhannya pada Bian.
Tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, Bian akhirnya bungkam. Dia merasa bahwa anaknya juga sedang tidak bisa diajak kompromi saat ini. Dia melajukan mobilnya cepat, memperpendek durasi perjalanan yang diisi dengan sunyi.
Tujuannya agar secepatnya Fachrel bisa segera mengganti pakaian, dia tahu anaknya tidak bisa berlama-lama begini. Ditambah lagi batuk yang tertahan mulai terdengar dari Fachrel yang terdiam menoleh keluar jendela, membuat Bian paham dia sedang dalam masalah sekarang.
Selain itu semua, yang pasti agar secepatnya dia bisa berbicara empat mata dengan putra kandungnya sendiri.
Perjalanan yang biasanya bisa memakan waktu satu jam, ternyata mampu dlitempuh hanya dalam hitungan kurang dari empat puluh menitan. Beruntunglah mereka tidak terjebak macet, karena jalanan yang sudah mulai senggang dijam hampir tengah malam. Ditambah diluar juga sedang hujan, wajar rasanya mereka jadi cepat sampai ditempat dimana menjadi tujuan mereka pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.