Chapter 14 : Mengertikah Ayah?

712 54 6
                                    

Sesekali, pernah kau tanyakan pada bintang apakah dia senang ketika terlihat mandiri karena bercahaya sendiri saat dibandingkan dengan bulan? Perlu kau tahu, bahwa dia tidak lebih beruntung karena  perlahan kehabisan bahan bakar kemudian menghilang.


Dimensi ruang makan tidak sebesar samudra yang membentang diantara benua, tapi rasanya jaraknya sejauh bumi dengan langitnya, dan seluas angkasa. Hingga  mereka sangat keberatan untuk mampu mengikis hening dengan suara.

Entah alasan itu hanyalah sekedar jarak tak kasat mata, atau ego mereka. Yang jelas, hening ini tidak akan berakhir jika tidak ada yang mengalah salah satunya.

Dan, dengan emosi yang telah tertata, Bian akhirnya mencoba membuka percakapan dengan sebuah tanya. Pada anaknya sedang menikmati makan malam di seberang sana.

“Tadi habis dari mana, Dek?”

“Tadi Om Arya udah bilang kan? Cuma jalan-jalan.”

Bian menarik nafas dalam-dalam, memang dia tadi habis memprotes Arya dengan tindakannya, yang membawa Fachrel keluar rumah tanpa izin dan ditengah kondisi sakitnya. Tapi Arya beralasan jika anaknya itu butuh untuk menyegarkan pikiran, katanya. Dan Bian pun tidak bisa mengelak, selain akhirnya menerima alasan itu.
Meskipun dia masih sangat kesal atas apa yang Arya dan Fachrel lakukan.

“Memang ngga pusing lagi?”

“Nggak.” Singkatnya, dengan terus menyuap nasi kedalam mulutnya.

Kembali kekosongan itu menemani mereka. Percakapan yang ada nyatanya selalu berhasil ditebas habis peluangnya, oleh Fachrel. Sejak tadi, Bian memang masih kesal dibuat tambah kesal akhirnya, menghadapi anaknya yang seperti ini. Tapi dia masih mencoba terus menahan emosi, dengan berbicara dengan setenang mungkin. Sebab dia teringat ucapan Arya yang menegurnya tadi pagi.

“Dek, Arka mau tinggal bersama kita. Kemungkinan dia akan mulai tinggal disini beberapa hari lagi.”

Segala kegiatan Fachrel seketika itu terhenti. Ada perasaan yang berbeda-beda yang menyatu didalam sana. Dan yang cenderung lebih dia rasakan saat itu perasaan sakit diantaranya. Matanya kehilangan titik fokus, perasaan campur aduk itu membuat dia menggeleng dan  terkekeh. Bian tidak mengerti dimana letak lucunya perkataanya kali ini.

“Jilat ludah sendiri dia?” cicit Fachrel dengan senyum sinis.

“Maksudmu?” Bian masih bingung dengan maksud perkataan anaknya yang aneh baginya.

“Yah, dia bilang dia nggak akan Sudi tinggal disini kan kemarin? Di bilang juga nggak akan mau masuk sedikitpun kerumah ini?”

“Itu karena dia sedang emosi, kamu jangan negatif thinking gitu dong! Dek.”

Negatif thinking ya? Padahal kalau menurutku, itu karma. Kalau sejak awal dia nggak pernah ngomong seperti itu, aku masih oke dia tinggal disini. Tapi karena dengan sombongnya dia bilang nggak akan mau tinggal dirumah ini. Aku jadi keberatan. Banyak gaya sih.”

Nada bicara Fachrel sungguh tidak bersahabat. Dan itu semakin memperpendek sumbu kesabaran milik Bian.

“Fachrel Ayah nggak suka kamu bersikap kayak gini. Kamu juga kekanakan jadinya, karena menilai seseorang sembarangan! Kamu harusnya cari tahu dulu, coba ngerti bagaimana perasaan dia sampai dia bisa bertindak demikian.” Bian mulai menaikkan nada bicaranya.

Fachrel kembali dibuat lumpuh oleh perkataan ayahnya.  Suara pecahnya menggema diruang tak terbaca dalam dadanya.

Fachrel mengeraskan tawanya, meskipun tindakannya itu berpotensi menyulut kemarahan Bian. Dan juga nyaring tawanya berlawanan dengan perasaan.

“Aku? Kurang pengertian gimana aku, Yah? Aku juga keberatan kok dengan pernikahan ini, asal Ayah tau. Tapi bahkan Ayah nggak ngerti perasaan aku. Terus aku juga keberatan atas kehadiran Mamanya disini. Memang siapa sih, Yah yang bisa ikhlas gitu aja, kepemilikannya diambil? Dia ambil Ayah dari Bunda. Dia mungkin juga sebentar lagi ambil ayah dari aku. Perlahan juga Bunda bakal kehilangan kenangannya disini. Apa aku baik-baik saja menerima itu, Yah?”

Perkataan Fachrel layaknya pedang yang mengayun indah, menimbulkan sakit tak berdarah yang perihnya tidak didefinisikan. Sampai-sampai Bian tidak bisa berkata apa-apa.

Fachrel menggeleng kala ucapannya tidak mampu ditepis Bian yang mematung dikursinya.

“Aku keberatan mereka tinggal disini! Itu perasaan aku. Tapi aku hargai karena itu keputusan Ayah. Aku menghargai Tante Vania dengan memanggilnya Bunda, seperti yang Ayah minta. Padahal aku nggak pernah bisa terima itu, karena bagi Fachrel, Bundaku cuma Bunda Ica. Aku kesampingkan perasaan ku demi Ayah. Kenapa Arka ngga bisa lakukan itu untuk Mamanya? Kenapa Ayah minta aku untuk ngertiin dia sedang Ayah ngga pernah bisa ngerti perasaan aku.”

Bulir bening itu sudah terjatuh di pipi Fachrel yang menanggung luka menganga lebar lebih besar, tanpa diketahui Ayahnya. Jangan kira semudah itu untuk mengatakan ini semua. Karena perasaannya  ikut hancur saat ini juga.

“Terserah Ayah mau bagaimana. Aku nggak akan menghalangi kok keputusan Ayah. Ini rumah Ayah, jadi aku bisa apa? Aku mau protes seperti apa juga, aku yakin Ayah akan tetap pada keputusan Ayah. Ayah tenang saja, aku akan bersikap biasa saja, aku tidak akan mengusik kenyamanan ataupun memperkeruh suasana. Aku selesai, aku istirahat dulu.” ucap Fachrel sebelum akhirnya pergi meninggalkan Bian yang masih terpaku ditempatnya.

Fachrel tidak sanggup berlama lama disana, memandang Ayah yang sepertinya menyetujui setiap ucapannya. Tanpa ada rasa ingin menjelaskan sesuatu, atau barangkali menyanggahnya. Mengatakan bahwa semua pemikirannya salah dan mematahkan asumsi yang sebenarnya Fachrel sendiri tidak menginginkannya. Tapi dia tahu, apa yang dia katakan adalah fakta. Bahkan Ayahnya benar-benar tidak berniat untuk membantahnya.

Tak ayal tingkah laku Ayah kadang membuat Fachrel putus asa. Kadang akal sehatnya tidak mampu mencerna jalan pikiran Ayah yang semakin lama sulit dia pahami.

Dia berjalan terburu-buru, seiiring rasa sesak yang semakin menjadi. Paru-parunya mulai enggan untuk dia ajak berkompromi. Dia segera mengunci pintu dan menghisap inhalernya beberapa kali.

Menyetabilkan nafas yang sempat tak karuan kala lukanya memperburuk kondisi tubuhnya.

Perlahan-lahan nafasnya mulai tertata. Meskipun sesaknya masih dia rasa. Dia merebahkan tubuhnya yang lemas, dan memejamkan matanya, terbayang wajah sang Bunda dalam alam imajinya.

“Kenapa sih Bun? Kenapa harus dengan begini? Sakit, sakit banget Bun disini....” rintih Fachrel menunjuk kedadanya sendiri.

Bulir air matanya mengalir membasahi bantalnya. Kecil isaknya lolos disela tangisan.

“Harusnya ngga gini Bun, aku nggak mau kasih Ayah kesiapa pun. Buatku juga Bundaku itu cuma Bunda saja. Tempat bunda dirumah ini hanya untuk Bunda, dan nggak bisa diisi oleh orang lain. Tapi demi Bunda, aku lakukan. Dan demi Ayah aku terima. Aku takut Ayah juga bakal tinggalin aku Bun..... Tapi nyatanya, aku perlahan malah semakin nggak kenal Ayah Bun. Sakit Bun....” ucap Fachrel terlampau pelan, masih dengan matanya yang terpejam.

Karena nyatanya sesakit itu, dia merasa telah kehilangan banyak hal yang tidak perlu lagi Fachrel jabarkan. Dan tidak ada lebih perih lagi selain merasakan kehilangan.

Kini anak itu tidak tahu bagaimana dia harus berbagi beban. Dia tidak tahu pada siapa dia akan bersandar.

Katanya dulu, sebelum terlahir di dunia, manusia telah menerima takdirnya. Dan Fachrel menyesali keputusannya atas takdirnya. Mungkin.

Karena dia pun tidak tahu apa sakit yang demikian menikam akan terus bisa dia tahan. Sakitnya membuat air matanya tak henti membanjiri bantal dibawah kepala. Yang bisa Fachrel lakukan sekarang hanyalah bertahan sekuat mana dia mampu berjuang.







.

.

Halo
Fachrel kembali nih. Malem mingguan ditemani Fachrel. Tapi dia datang dengan lukanya. Sanggup ngga jadi tempat bersandar dia?

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang