Chapter 5: Bujuk

1.1K 77 4
                                        

Sepulang Gibran dari kontrakan Arka, mungkin waktu juga sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Arka membereskan gelas yang tadi dibuatnya untuk mengopi bersama Gibran, setelah dia menyimpan kembali gitar diatasi meja pojok ruangan.

Tangannya sigap membawa nampan berisi gelas kotor dan kakinya bersiap untuk masuk kedalam kontrakan untuk beristirahat, awalnya. Sebelum sebuah mobil dengan sorot lampu terangnya menyilaukan mata Arka.
Arka tau mobil  siapa itu. Tepat seperti dugaan, seorang perempuan turun dari mobil itu bersama seorang pria. Mereka berjalan mendekati Arka.

“Mama,” sapa Arka, sembari menaruh kembali nampan ditangan ke meja, mengurungkan niat untuk membawanya kedalam karena kedatangan wanita  yang dia sebut Mama itu.

“Arka, Mama rindu sekali.” Wanita itu menghambur memeluk Arka.

Arka ingin membalas pelukan itu dengan rengkuhan yang mungkin dapat menyampaikan rindunya juga. Tapi urung ketika memandang wajah pria dibelakang Mamanya yang membuat rasa marah  dan kesal Arka kembali  membuncah. Arka justru  segera melepaskan pelukan  Mama yang sebenarnya masih ingin  Arka rasakan hangatnya.

“Mama ada perlu apa kesini?” tanya Arka dengan wajah datarnya.

“Kamu kenapa sih Bang, kok ketus begitu? Memang Mama nggak boleh kemari? Mama khawatir tau, seharian kamu nggak balas pesan Mama, nggak bisa dihubungi juga. Mama, kan ingin tahu Abang sudah makan atau belum, sudah pulang atau belum.” Jawab Vania dengan nada yang sedikit melucu, untuk mencairkan suasana.

Tapi nyatanya dinginnya Arka tidak mampu dilelehkan dengan cara demikian. Dia tetap tidak berubah sedikitpun.

“Ma, ponselku mati, dan tertinggal dirumah. Jadi aku nggak bisa dihubungi.”

“Sudah makan belum sekarang?”

“Sudah Ma,”

“Abang bohong nggak nih? Atau karena mau menghindari Mama dan Om Bian lagi, seperti yang sudah-sudah?”

Telak, mencoba Arka tutupi tapi nyatanya Mama terlalu pintar membaca isi hati. Arka tidak berbohong tapi dia juga tidak menampik bahwa dia juga ingin menghindari pria itu. Meskipun statusnya sudah menjadi Papa barunya, Arka masih belum menerima.

Dan Vania tahu  bahwa dia dan  suami barunya sedang menghadapi ujian yang menguji kesabaran. Dia tahu bagaimana Arka, anaknya itu masih sangat enggan untuk memanggil Bian sebagai Ayahnya, ataupun memanggil dirinya menjadi Bunda, persis seperti cara Fachrel memanggilnya. Agar keluarga itu terlihat harmonis dan senada. Tapi, itu semua tidak membuat Vania marah,   Vania sadar membuat Arka menerima itu semua, membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang tidak ada ujungnya.
Biarkan perlahan saja, sampai Arka akhirnya terbiasa.

Tak apa jika akhirnya Arka tetap ingin memanggilnya Mama,  minimal dia bisa menyebut Bian sebagai Ayahnya, dan mengakui Fachrel sebagai saudara. Menerima kehadiran dua anggota keluarga baru yang akan menjadi bagiannya. Dan tinggal bersama layaknya sebuah keluarga.
Begitu pun dengan pemikiran Bian, sebagai orang yang tiba-tiba datang dia cukup tau diri bahwa apa yang akan dia hadapi, penolakan yang dialami semuanya memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk diselesaikan.

“Kita bisa makan bersama diluar, sekalian berbelanja kebutuhan kamu selama disini.” Ucap Bian.

Sebagai seorang Ayah tentu lelaki tinggi dengan kumis tipisnya ini sudah tau bagaimana cara menunjukkan perhatiannya, apalagi dia juga harus membangun citra yang baik untuk memperbaiki hubungan dan membangun kehidupan baru bersama anak tirinya itu. Alih-alih mendapatkan jawaban yang baik, respon Arka sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan.

“Om nggak perlu sok baik didepan saya! Om harusnya malu berdiri dihadapan saya! Om sebaiknya pulang dan berkaca seberapa banyak Om telah menghancurkan hidup saya!” tegas Arka.

“Arka!” Vania mencoba menengahi, menahan lengan Arka yang semakin lama posisi Arka semakin maju dengan diliputi emosi.

Arka menghembuskan nafasnya, ketika panggilan Mama merasuk ke telinga. Arka mencoba meredam emosi agar tidak meledak dan menyakiti perasaan Mama.

“Mama nggak perlu khawatir tentang aku. Aku bisa urus diri sendiri.... Kalau tidak ada keperluan lagi, Arka pamit masuk Ma, Arka mau istirahat.”

Saat-saat seperti ini, yang Arka bisa lakukan adalah menghindari. Dia tahu bagaimana dirinya sendiri jika berlama-lama dihadapkan dengan sosok Bian, orang yang paling dia benci saat ini.

Tidak menunggu lama, Arka meninggalkan teras kontrakan dengan sebelah tangannya mengangkat nampan yang sempat dia campakkan tadi. Masih dengan emosi yang ditahan setengah mati, dia berjalan menuju pintu, meninggalkan kedua orang itu yang masih mematung ditempatnya.

Tapi tangan Vania tidak kalah cepat menarik sebelah tangan Arka yang kosong, membuat Arka menghentikan gerakannya lagi.

“Ini untuk biaya sekolah dan hidup mu. Mama tahu kamu belum bisa menerima semuanya, tapi Mama mohon terima ini. Mama masih mamamu Arka, jadi kamu masih menjadi tanggung jawab Mama,” tangis Mama dengan menyerahkan amplop coklat ditangan Arka.

Tanpa berpikir panjang, Arka mengembalikan amplop itu ke tangan Vania.

“Mama, nggak perlu repot-repot, aku bisa bekerja. Dan membiayai hidup ku sendiri. Aku nggak mau menerima uang Mama karena aku tahu ini pasti dari lelaki itu. Aku nggak akan mau menerima apapun dari orang yang aku benci.” Ujar Arka.

Amplop yang semula berada ditangan Vania diambil cepat oleh Bian, dan kemudian Bian gesit mengembalikan amplop itu kepada Arka.

“Arka, saya tidak pernah mengungkit apapun yang saya berikan kepada siapapun. Terlebih kamu sekarang juga telah menjadi tanggung jawab saya. Jadi saya mohon terima ini. Jika kamu ragu untuk menggunakannya, minimal simpanlah. Karena kamu tidak tahu apa yang akan dihadapi kedepannya.”

Arka terpaku melihat tindakan Bian, pikirannya sempat kembali menimbang apa yang Bian ucapkan.

“Ya sudah, kalau kamu ingin istirahat. Mama dan Ayahmu pulang dulu.” Pamit Vania masih dengan tangisnya.

Kini justru Arka yang ditinggalkan sendirian, matanya hanya dapat memandang bahu Mamanya yang sedikit bergetar, dalam rengkuhan Bian. Punggung Mama semakin menjauh dari tempatnya berdiri, hingga  hilang sepenuhnya ketika telah masuk kedalam mobil yang perlahan juga berjalan keluar dari halaman didepannya ini.

Arka paham apa yang dia lakukan, anak itu tahu bahwa penolakannya terhadap apa yang terjadi telah menyakiti Mama. Tapi apakah menyetujui pernikahan mereka juga bukan hal yang menyakitkan bagi Arka? Itu menyakitkan. Jika mereka berhasil membuat Arka menelan bulat-bulat keputusan itu, maka mereka juga harus siap  menerima jika Arka bersikap demikian.
Karena Arka telah dibuat hancur kepercayaannya, dihancurkan rasa berharganya sebagai seorang anak bagi keluarganya sendiri.
★★★

Tangan itu mengambil alih sebungkus tisu dan menyerahkan pada seseorang disampingnya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan kota.

“Sudah, Bun. Jangan terlalu dipikirkan Arka masih butuh waktu.” Ucapnya sembari menggenggam tangan sang istri, sedangkan sebelah tangannya lagi mengendalikan setir mobilnya hati-hati.

Mendengar itu Vania menoleh, menatap wajah tegas Bian sebentar, kemudian meraih tisu dan mengusap air matanya . Ya, lelaki disampingnya itu, kini telah jauh berubah. Sahabat SMA yang dulu dikenalnya sebagai orang yang tidak sabaran nyatanya kini justru berubah diluar dugaan. Sahabatnya, Marissa juga berhasil. Dia berhasil membuat Bian berubah sedemikian jauhnya.

Mengingat itu, melihat kesabaran yang luar biasa dari Bian memunculkan rasa bersalah dihatinya. Bagaimana pun Bian seorang manusia biasa, dia pasti punya rasa lelah dan batas sabarnya.

“Maaf ya, Mas.... kamu pulang kerja, aku ajak bertemu anakku malah berakhir seperti ini lagi.”
Bian membalas dengan segaris senyum yang tercipta diwajahnya ketika mendengar kata kata Vania.

“Van, itu bukan masalah. Aku tentu merasa tidak nyaman dengan ini, tapi bagaimanapun ini adalah resiko dari keputusan kita. Jadi apa gunanya mengeluh? Aku tahu anak-anak tidak akan semudah itu menerima semuanya. Ayo kita hadapi semuanya bersama, demi Marisa dan anak-anak.”

Vania ikut menarik senyum mendengar jawaban Bian. Dia memeluk sebelah tangan Bian yang memegangi tangannya. Ada rasa yang tidak bisa dia jelaskan. Dan hanya Vania yang tahu.

“Mas, Aku rasa dulu aku melepaskanmu untuk Marissa bukan hal yang salah. Dan kamu pasti sangat menyayangi dia kan? Dia wanita yang hebat!” ujar Vania dengan bermanja-manja di lengan Bian.

“Aku, kamu dan Marissa sudah bersahabat sejak SMA. Kalian berdua wanita yang hebat.”

“Tapi Marissa lebih hebat. Dia bisa mengubah seorang Bian Asegaf yang pemarah jadi penyabar. Dia menurunkan kebaikan pada anak kalian, Fachrel. Dia baik dan sopan.”

“Untuk masalah Marissa, aku tidak menampik dia perempuan yang hebat, dia kuat, dia baik, dan tidak banyak bicara. Tapi dulu aku sukanya kamu yang sedikit berisik! Tapi kamu malah nikahnya sama orang lain,” goda Bian yang membuat Vania tersipu.

“Kamu ya!!” Vania menyubit lengan Bian yang dalam dekapannya. Membuat Bian berseru sedikit kesakitan.

“Eh, tapi Arka juga sosok yang hebat loh Bun, dia anak yang bisa diandalkan. Dia juga mandiri. Aku tahu dia juga anak yang baik. Cuma keadaan saja sekarang yang sedang membuat Arka bersikap begini.”
Vania terdiam beberapa saat, mengulik kembali pikirannya tentang Arka yang selalu bersedia membantu Vania, menjadi penopang dan selalu disampingnya  ketika Vania sedang tidak baik-baik saja.

“Ya, anak itu memang baik. Tapi kerasnya persis seperti mantan suami ku.”

“Sudah-sudah, jangan terlalu jauh kita memikirkan ini. Sekarang kita harus bersabar dan saling menguatkan. Aku yakin nanti anak-anak akan sanggup menerima. Dan kita bisa hidup bahagia.” Bian menenangkan Vania yang kembali teringat sang mantan suami.
Bian tahu bahwa kenangan itu menyakitkan bagi Vania, maka dia tidak ingin Vania berlarut larut memikirkan kembali hal itu.

“Iya.” Singkat Vania.

Vania merasa beruntung, karena Bian mampu menjadi tempat bersandar ketika Vania sendiri sedang lelah menghadapi semuanya. Dia berterima kasih kepada takdir, yang mempertemukan mereka kembali.

Juga berterima kasih kepada sahabat terbaik, Marissa dengan segala yang telah dilakukan untuk dirinya.
Rasa beruntungnya semakin membuat Vania mengeratkan pelukannya pada bahu Bian, seolah tidak akan melepaskan Bian lagi untuk orang lain, cukup Marissa saja.

















Cie yang santaiii, Cie yang lagi libur. Hehe, berlanjut nih ceritanya. Terima kasih banyak atas vote dan komentar teman-teman. Juga terima kasih untuk support nya.

Selamat membaca, semoga terhibur. Jika ada yang Bingung boleh ditanyakan.

Selamat hari Minggu!

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang