Dengan tarikan nafas yang semakin berat. Dan dengan bajunya yang sudah basah kuyup. Bibir nya kebiruan mencuap meraup udara sebanyak-banyaknya.
Tetesan air dari bajunya tidak membuat Fachrel berhenti melaju masuk kedalam rumah. Tidak peduli lantai yang dipijak jadi basah dan licin.
Mendengar pintu depan itu terbuka secara asal, Vania berjalan sedikit lebih kencang. Memasukkan ponselnya kedalam saku rok, setelah menunggu balasan pesan dari Arka yang tidak kunjung di diberikan.
Mata Vania melebar, melihat Fachrel datang dengan sempoyongan dan terlihat nafasnya yang berantakan.
"Dek, kok–"
Bibir Vania terkatup kala melihat Fachrel tidak sedikit pun memandang nya justru terburu-buru masuk kedalam kamar nya dengan baju basah itu.
Fachrel bukan bermaksud mengabaikan tanya Vania. Tapi dia sedang kesulitan karena sakit dan sesak di dadanya yang terasa seperti paru-paru nya teremat. Remasan tangannya pada baju basah di bagian dadanya itu semakin erat kala nafasnya semakin berat dan sakit. Fachrel membungkuk perlahan dan meluruh dilantai pada akhirnya. Karena bahkan untuk sekedar berjalan sedikit lagi menuju kamar, menutupi sakitnya, Fachrel sudah tak mampu.
Vania kaget dan ikut bersimpuh kebingungan dengan anak Bungsunya yang tiba-tiba ambruk dengan nafas yang tersengal-sengal. Ah! Vania ingat kata Bian bahwa Fachrel punya asma.
"Fachrel! Hei! Apa yang bisa Bunda bantu, Dek?"
Fachrel tidak menjawab, dia hanya terbatuk dan sibuk mencari pasokan udara.
"Tashh, " ucapnya dengan kepayahan, berharap Vania mengerti maksudnya.
Mendengar itu Vania menggeledah tas Fachrel yang masih ada di tindihan Fachrel karena belum sempat terlepas. Mencari obat anak itu, diantara buku-buku yang banyak dan sebagiannya basah.
Panik. Vania hampir frustasi karena tidak kunjung menemukan apa yang dia cari. Lalu telapak tangannya menyentuh benda tabung berwarna biru. Dengan segera Vania menyerahkan benda itu pada Fachrel.Tangan Fachrel yang gemetar pun menerimanya dengan cepat. Lalu dia mengisapnya beberapa kali. Dengan kesusahan dia berusaha duduk agar penyetabilan pernafasannya lebih leluasa.
Perlahan sesaknya yang sempat menyiksa pun berkurang. Nafas Fachrel sudah sedikit lebih baik, kendati rasanya penyempitan saluran nafasnya masih belum berkurang dengan sepenuhnya. Karena sesak itu masih sedikit dia rasakan.
Vania memegang lengan Fachrel tiba-tiba membuat Fachrel kaget.
"Ayo! Bunda bantu bangun,"
Tapi alih-alih menerima bantuan Vania. Fachrel justru melepaskan tangannya, dengan cepat. Hingga mungkin terkesan menghempaskan tangan Vania tak sopan.
Vania kaget. Dia tertunduk, dia salah paham sepertinya. Yang Vania tangkap adalah rasa sakit karena di perlakukan kasar oleh Fachrel ketika dia hanya berniat membantu. Ternyata sampai saat ini untuk menerima dirinya saja, Fachrel belum bisa.
Melihat mimik wajah Vania yang kecewa, Fachrel menjadi tidak enak hati. Sudah pasti, tindakannya barusan disalah artikan oleh Bunda tirinya itu.
"Maaf, B-bun. Tapi bajuku basah. Aku bisa bangun sendiri. Aku nggak mau baju Bunda basah juga," ujar Fachrel sedikit terbata.
Vania yang awalnya merasa sedih, tiba-tiba hatinya menghangat. Saat kata maaf Fachrel, dan alasannya bertindak demikian terlontar dengan nada yang terkesan khawatir. Vania tersenyum, dan mengangguk mengerti.
"Ya sudah, cepat bangun dan ganti bajumu," titah Vania.
Fachrel pun sekuat tenaga kembali berdiri sebisanya. Karena jujur badannya lemas sekali setelah bertarung dengan hidup dan matinya. Lalu dia berjalan pelan menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
Genel KurguHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.