"Bangun juga kamu!"
Itu yang Fachrel dengar sejak kali pertama dia membuka matanya. Nampak seorang lelaki yang sedang berdiri dihadapannya dengan menenggak sebotol minuman keras.
"Om Rully...." Jawab Fachrel pelan.
Fachrel tidak bisa bergerak sama sekali karena tangan, kaki bahkan tubuhnya diikat erat dalam posisi duduk di kursi kayu sederhana ini. Padahal rasa kesemutan telah menjalar di seluruh bagian tubuh.
"Gue kira mati lo!" Ujar Rully dengan santai
Dia berjalan menuju Fachrel membuat Fachrel was-was jika Rully tiba-tiba menyerang. Rully pun menekan kedua pipi Fachrel, hingga bibir Cherry yang berwarna pucat itu mengerucut.
"Kira-kira, kalau Bian tahu anak semata wayangnya disini bakal gimana ya? Toh, dia juga udah ambil lagi anak gue dari gue tanpa bilang," Tanya Rully.
Fachrel paham benar, bahwa tujuan Rully pada akhirnya tertuju pada keinginan materil, untuk menunjang hidupnya. Fachrel khawatir jika Rully akan memanfaatkan dirinya untuk memperoleh keuntungan yang tidak kira-kira, dan merugikan Ayahnya. Padahal hadirnya Fachrel sendiri selama ini sudah menjadi beban. Fachrel tidak ingin menambah beban Ayah menjadi lebih berat lagi. Begitu pikir Fachrel.
"Kalo, tebusan 5 Miliar cukup ngga ya? Pasti mau sih bokap lo," ujar Rully lagi.
Apa-apaan 5 Miliar?
Fachrel tidak bisa tinggal diam mendengar ini. Meskipun ada sekian rasa takut, dia mencoba untuk tetap tenang. Menghadapi argumen Rully yang setengah sadar dengan kepala dingin.
Fachrel lantas terkekeh,"Lucu, Om tau saya bukan anak dari seorang yang Ayah inginkan. Tentunya sekarang mau diminta tebusan sebanyak itu, mungkin Ayah nggak akan kasih. Saya mungkin nggak terlalu berarti untuk Ayah lagi. Untuk apa coba mempertahankan saya yang penyakitan dan merepotkan, mewarisi perusahaan? Saya nggak bisa menjamin bisa bertahan sejauh itu."
Jujur, itu yang Fachrel rasakan. Tapi lebih dari sekedar mengutarakan perasaannya, dia lebih ingin mengecoh Rully.
Rully tampak terdiam sejenak, dia mencerna baik-baik perkataan Fachrel.
"Pinter lo mau coba mempengaruhi gue. Bocah malang," ucap Rully diakhiri kekehan merendahkan.
"Saya bicara fakta. Kalau itu nggak bener, mana mungkin saya dibiarkan kerja saat mereka tau saya nggak bisa kecapekan?"
Rully mengangguk-ngangguk mendengar perkataan Fachrel, "Bener juga, cerdas lo!"
Lantas tipis sekali Fachrel tersenyum, merasa berhasil membodohi Rully.
"Makannya nggak ada untung Om nyulik saya, yang ada kalau saya tiba-tiba drop dan mati Om bisa jadi napi," tukas Fachrel yang tidak menyerah mempengaruhi.
Tapi yang terjadi selanjutnya membuat Fachrel bingung. Pasalnya bukannya membuat Rully tampak berpikir dua kali, malah orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Betul. Tapi gue nggak peduli kalau lo mati,"jawab Rully.
Gila!
Fachrel sedikit terkejut mendengar kalimat Rully yang diluar nalarnya. Tak berhasil sepertinya dengan kalimat sebelumnya, Fachrel memutar otak untuk mempengaruhi Rully lagi.
"Saya , nggak membicarakan tentang peduli. Orang kayak Om mana punya kepedulian? Ini saya bicara tentang keuntungan. Nggak ada untungnya Om culik saya," ungkap Fachrel.
Rully pun berjalan menuju meja bundar yang ada ditengah ruangan. Menaruh bir itu disana, sembari memikirkan perkataan Fachrel. Tangannya menyahut rokok dan mengisapnya. Membuat ruangan pengap itu dipenuhi asap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.