Perselisihan semalam membuat Vania yang sedang menyiapkan baju ganti suaminya itu tidak fokus, karena kepikiran. Hal itu tidak luput dari perhatian Bian yang baru saja keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk selutut dan kaos polos putih sebagai atasan. Kaos yang mencetakkan bentuk sempurna tubuh maskulin milik Bian yang masih terjaga diusia yang terbilang tidak lagi muda.
"Ada apa sih Bun...." Bian menepuk bahu Vania. Membuat Vania sedikit kaget rupanya.
"Aku bingung , Mas. Dengan anak-anak. Baru pindah sehari saja sudah ada keributan seperti semalam. Sepertinya akan sulit menyatukan mereka." Jawab Vania dengan tertunduk.
Bian merotasikan bola matanya. Berpikir sejenak untuk mencari jalan keluar. Karena bagaimanapun dia juga merasakan hal yang sama seperti yang Vania rasakan. Tapi tiba-tiba sebuah ide brilian muncul membuat senyum sumringah tercipta diwajah Bian.
"Bun, Ayah ada ide!" Kata Bian dengan senyum mengembang.
"Apa itu?"
"Karena 2 hari kedepan Ayah akan keluar kota bagaimana dengan ini...."
Bian menarik tangan Vania, membisikkan sesuatu di telinga istrinya. Entah apa yang disampaikan tapi, hal itu membuat Vania mangut-mangut setuju.
⭐⭐⭐⭐⭐
Persis seperti dugaan Vania. Sejak perselisihan semalam, diantara Arka dan Fachrel semakin jauh jaraknya. Ruang yang tak dapat dilihat mata, tapi nyata memberi kesenjangan antara dua insan manusia disatu meja makan ini.
Bian dengan pakaian yang sudah rapi baru saja datang. Menarik kursi dan tak lupa menyapa kedua anaknya beserta istri tercinta.
"Pagi semuanya."
"Pagi Yah...." Jawab Vania dengan senyum yang sedikit dipaksa.
Diantara beberapa manusia disana, hanya Vania yang menjawab sapaan Bian. Yang lainnya bagaikan makhluk tak berpita suara.
Kedua bocah SMA itu seperti patung hidup saja disana.
Bian paham kondisinya, jadi dia juga tidak mau memaksa mereka untuk menjawab. Pria ini memaklumi semuanya.
Setelah itu Vania menjalankan tugas sebagai ibu dan istri bagi tiga lelaki disana. Dia menyiapkan sarapan diatas piring mereka. Mendahulukan kepentingan perut mereka bertiga diatas kepentingan perutnya.
Dengan khidmat sarapan berjalan, tidak ada satu kalimat pun mengudara.
Saat sarapan itu selesai, Arka yang beranjak dari duduknya pun harus kembali pada posisinya semula, ketika Bian dengan cepat memintanya untuk kembali duduk.
"Arka! Jangan pergi dulu, ada yang ingin saya sampaikan. Jadi tolong duduk lah sebentar." Pinta Bian.
Arka kali ini hanya menuruti karena sedang malas berbuat keributan disana. Meskipun dalam hatinya dia begitu malas berlama-lama satu meja dengan Fachrel.
Melihat Arka sudah kembali duduk, Bian segera memulai pembicaraan serius. Matanya bergantian menatap kedua putranya yang duduk bersampingan didepannya.
"Hari ini dan beberapa hari kedepan Ayah akan pergi keluar kota untuk beberapa urusan pekerjaan, karena ada ketidak stabilan finansial diperusahaan cabang diluar kota. Ayah menitipkan Bunda pada kalian berdua ya, Arka , Fachrel."
Kedua putranya tidak juga membuka suara. Malah sibuk sendiri-sendiri. Fachrel dengan sarapannya yang belum habis, dan Arka dengan sebuah jeruk ditangannya.
Bian hanya membuang nafasnya panjang, mendapati kedua putranya tidak memberi respon berarti.
"Fachrel, Ayah harap kamu bisa menjaga diri dan menjaga kesehatan. Jangan buat Bunda khawatir. Jangan sering ribut dengan Abang ya?" Lanjut Bian menasehati putra kandungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
Ficción GeneralHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.