Chapter 3: Rindu

1.3K 76 5
                                    

Nikmati waktu sebaik mungkin bersama momennya. Karena itu tidak bisa diputar ulang.

Semesta mungkin masih banyak menyimpan banyak misteri. Yang bisa saja mengubah kehidupan seseorang kapanpun dengan tiba-tiba atau dengan memberi tanda-tanda. Wajar saja perubahan sikap Arka sejak beberapa bulan terakhir terlalu besar dirasa.

Bagi sahabat-sahabatnya, Gibran dan Aldo jelas perubahan sikap Arka bukan hal yang kecil. Anak itu awalnya sangat terbuka dan banyak bicara persis seperti mereka.
Tapi kini mereka seperti kehilangan sosok Arka yang mereka kenal sejak awal masuk ke sekolah menengah atas, teman bersama saat menerima hukuman ospek, lantas berlanjut ke teman satu kesal, hingga teman kemanapun mereka pergi bermain sepulang sekolah. 

Sosok Arka yang dulu bukan sosok yang seperti ini. Anak itu sekarang lebih banyak diamnya, juga lebih emosional. Sebagai teman yang baik, Nando dan Gibran mencoba memahami, tanpa harus mendesak Arka segera menceritakan masalahnya.

Arka sendiri, dia tidak ingin orang lain mengetahui bahwa sekarang dia dan musuh bebuyutannya telah menjadi keluarga. Selain itu, jika harus menguak  masalah itu, tentu akan membuka luka lama untuk menambah luka baru yang Mamanya beri.

“Gimana?” tanya salah satu siswa, pada dua temannya yang sedang sibuk dengan motornya masing-masing diparkiran sekolah.

“Ya udah deh, next time aja Gi,”jawab salah satunya.

“Sorry banget nih ya, Al. Soalnya harus jaga stand dagangan Emak gue. Jadi nggak bisa nongkrong dulu. “

“Santailah, Gi.... Memang bokap lo kemana?”

“Lagi ada urusan, jadi minta gue gantiin bantu emak diwarung.” Jawab Gibran.

“Oh gitu. Anak soleh,” kelakar Nando yang membuat Gibran tertawa.
Sebentar tawa mereka berdua mengudara, lalu hilang perlahan ketika menyadari Arka yang hanya diam saja.

“Lo gimana Ka? Tadi pagi lo bilang libur kerja kan hari ini?”tanya Nando.

“Gue....” Arka menatap langit  dengan azzura-nya diatas sana, sedang pikirannya berkelana mencari jawaban atas pertanyaan temannya.”Gue ikut lo aja ya, Gi?” finalnya.

“Serius lo?” tanya Gibran yang tidak percaya.

Sementara Arka hanya mengangguk dan melanjutkan kegiatannya memakai helm. Hal itu membuat Gibran dan Aldo bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa, seperti saling melempar pandang yang menyiratkan tanya.

Mata Aldo melirik pada Arka dan kemudian menatap Gibran dengan mengangkat kedua alisnya, menanggapi hal itu Gibran hanya menggendikan bahu, lalu berujar pelan diselingi kekehan kecil.

“Pengen jadi anak Soleh juga mungkin.” Ucap Gibran sebelum akhirnya ikut memundurkan motor nya keluar dari barisan motor lain yang terparkir.

Nando  hanya tersenyum dan mengangguk saja, untuk sekarang memaksa Arka bercerita juga bukan hal yang benar nampaknya. Baik Nando dan Gibran sadar betul bahwa Arka pasti sedang menyimpan rahasia. Jika Arka tidak siap mengungkapkannya maka sebaiknya dibiarkan dulu sampai di benar-benar yakin untuk membukanya.
Kemudian ketiganya meninggalkan parkiran menuju tujuan mereka masing-masing.

★★★

Sebuah stand street food berukuran kecil ini nyatanya sudah ditunggu pembeli yang beberapa sedang dikerjakan pesanannya. Arka dan Gibran baru saja tiba disana, setelah pulang dulu kerumah Gibran untuk mengganti seragamnya. Pun Arka yang dipinjami baju milik Gibran untuk berganti juga.

Arka terpaku sesaat melihat Ibunya Gibran yang sibuk menyiapkan pesanan. Dulu juga Mamanya pernah sesibuk itu, persis seperti Gibran sekarang, Arka juga sering membantu, barang hanya sekedar mengupas bawang merah dan putih lalu mengantar pesanan. Saat itu semuanya masih terasa membahagiakan, meskipun tidak ada sosok pemimpin keluarga dihidupkan mereka. 

Bahkan hanya dari hal sekecil itu, Arka berhasil ditarik oleh otaknya untuk mengenang kembali masa yang pernah dilaluinya.  Saat Arka dan Mama hanya tinggal berdua, ketika Mama menjalankan usaha katering saat awal-awal kepindahannya di kota ini. Untuk biaya kehidupan sehari-hari dan biaya sekolah Arka juga.

Arka tersadar dari bengongnya saat melihat Gibran melesat menuju Ibunya, setelah melepas helmnya. Arka menyusul dengan langkah yang stabil dan santai saja.

“Bu, udah mulai rame, apa yang bisa Gigi bantu?” ujar Gibran yang langsung menghampiri Ibunya.

“Eh, Gigi udah pulang? Loh bareng Arka juga?” tanya Irma—Ibunya Gibran— menyambut Gibran dan Arka dengan senyuman.

Arka menjawab dengan pelan dan sesopan mungkin, ”Iya Tan, dari pada dikontrakkan bosen.  Jadi pengen ikut bantu aja.”

Irma membulatkan bibirnya ber-oh ria.

“Kalian pasti belum makan?”

“Belum Bu, tadi langsung kesini habis ganti seragam. Soalnya kata Bapak takut udah rame diwarung. Eh, ngga taunya bener kan?”

Tangan Irma menjewer telinga Gibran pelan, setelah mendengar jawaban anaknya. Mengakibatkan Gibran yang sedikit lebay meng-aduh sembari mengusap telinganya.

“Bapak mu itu kadang berlebihan, Gibran. Jadi kamu harusnya ngga ikut-ikutan. Makan itu penting, kamu kan baru pulang sekolah, jadi jangan dibiarkan kosong perutnya. Sudah  begitu kamu juga malah bikin Arka ikut kelaparan gitu?” omel Irma, sembari sibuk mengeluarkan sebuah kantung plastik dari dalam kotak penyimpanan bahan makanan yang dia jual.

“Untung Ibu sudah antisipasi kebiasaan kamu dan Bapakmu. Jadi Ibu beli nasi padang lauk rendang dan kerang asam manis. Kebetulan tadi Ibu beli dua,  makan dulu sana!”perintah Irma pada Gibran.
Sementara Gibran hanya meringis menunjukkan rentetan giginya.

“Iya nanti Gigi makan, tapi setelah bantu Ibu ya?”protes Gibran, “Ka, lo kalau mau makan dulu ngga apa-apa nih, duduk disana!” kini tatapan Gibran beralih ke pada Arka yang masih mematung melihat interaksi Gibran dan Irma.

Jujur itu membuat Arka iri, sekarang saja Mamanya tidak tahu apakah dirinya sudah makan atau belum. Padahal dulu Arka pernah merasakan itu, saat sebelum Fachrel dan keluarganya datang dan merusak semuanya. Arka iri dan rindu sekali perhatian seperti itu.

“Arka itu anaknya tau diri Gi, dia pasti nggak mau makan kalau kamu sendiri belum makan. Sudah sana makan dulu. Ini masih belum terlalu ramai kok, Ibu masih bisa handle sendiri.” Perintah Irma.

Akhirnya Gibran menurut dan membawa kantung plastik berisi makan siang itu ke sebuah meja kosong dan diikuti Arka. Mereka makan bersama, disana. Setelah selesai, mereka membantu Irma melayani pembeli hingga petang menjelang.

Setidaknya hari ini Arka tidak harus melarikan diri dari sakitnya dengan hal yang tidak berguna seperti biasa. Yang hanya tidur , kadang bermain gitar dan lainnya




Halo selamat siang!  Arka kembali.
Terimakasih atas vote dan apresiasi teman-teman! Semangat untuk hari ini. Jgn lupa makan siang.

Jaga kesehatan!
See you!

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang