Chapter 27 : Terpaksa.

775 71 8
                                        

Vania, mengunjungi kamar putra bungsunya. Kala malam menjelang larut, sebelum dirinya mengistirahatkan tubuh. Dia ingin mengetahui bagaimana kondisi Fachrel. Setelah ketukan pintu dua kali dia ulang dan tidak mendapatkan jawaban. Vania memberanikan diri untuk tetap masuk, kendati mencoba berjalan dengan perlahan.

Dia bisa melihat wajah pucat itu tidur dengan kondisi terlihat begitu lemah. Tangan Vania bergerak dengan sendirinya, seperti jiwa keibuannya mendorong Vania bertindak demikian. Tangan itu menyentuh dahi Fachrel yang masih terasa hangat. Dia menyingkirkan anak rambut yang basah akibat keringat. Dia mengelus pelan, lalu dia menempel plaster penurun demam untuk anak-anak. Minimal itu akan membantu menurunkan panas yang ada ditubuh Fachrel, tanpa harus mengganggu tidur Fachrel.

"Bun....da...." Kepala Fachrel bergerak pelan dengan alis yang berkerut seolah menahan sakit.

"Ssssttt..... Bunda disini sayang..." Bisik Vania sangat pelan.

Perlahan Fachrel mulai tenang. Igauan Fachrel itu berhenti. Meskipun Vania tahu bahwa yang Fachrel cari itu bukanlah dirinya, tapi Vania tetap merasa lega saat Fachrel bisa menjadi tenang ketika mendengar suaranya.

Hati Vania tercubit, sebegitu rindunya anak ini pada Bundanya. Apalagi bunda nya pergi bukan ke tempat yang bisa dia bisa temui lagi.

Ketika Fachrel tak lagi mengigau dengan nafas yang stabil dan tidurnya tampak begitu tenang. Vania berjalan meninggalkan ruangan. Membawa segala rasa iba yang menjalar ke dalam hatinya.

★★★★★

"Iya Yah, Bunda mengerti." Ujar Vania dengan ponsel ditelinga.

Disampingnya ada Bi Ambar yang sedang menyiapkan sarapan.

"Ya sudah, hati-hati diperjalanan."

Setelah selesai kalimat itu terucap, Vania memasukkan ponselnya kedalam saku. Beralih pada hal yang sedang dia lakukan.

"Bun...."satu panggilan itu membuat Vania terhenti gerakannya.

"Loh... Adek sudah bangun?" Vania memandang Fachrel dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.

"Sudah Bun. Kapan Bunda ambil itu dari kamar ku?"tanya Fachrel pada Vania yang sedang memegang masker milik nya.

"Tadi subuh. Ayah bilang harus dibersihkan, dan Ayah kasih tahu Bunda bagaimana tata cara membersihkannya,"

"Jadi Bunda kasih tahu Ayah?"

"Ya bagaimana, Dek? Nanti kalau ada apa-apa Ayah nggak tahu malah bisa lebih gawat."

Fachrel tidak berani membantah, meskipun dalam hatinya jelas keberatan. Dia tidak bisa mengutarakan itu semua karena dia merasa takut menyakiti perasaan Vania.

"Oh ya sudah." Fachrel menghembuskan nafasnya panjang. Pasrah dengan apa yang sudah terjadi.

Vania pun meninjau Fachrel yang sudah rapi dengan seragam sekolah dan tas digendongan. Dengan hoodie jacket menggantung dipundaknya.

"Kamu mau sekolah?"

Fachrel mengangguk, meng-iyakan tanya Vania.

"Memang sudah sehat?" Vania mendekati anaknya yang berdiri di dekat lemari pendingin, dan mengecek suhu tubuh Fachrel.

Tak seperti biasanya, kali ini, Fachrel terdiam ditempatnya. Tidak lagi memundurkan tubuhnya beberapa langkah untuk menjaga jarak. Hal itu membuat Vania merasa sedikit senang.

"Masih hangat sedikit. Yakin mau kesekolah?" Vania memastikan.

"Iya, ngga apa-apa kok, Bun"

"Masih pusing?"

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang