Fachrel turun dari motor, saat setelah Arka memarkirkan motornya. Perasaan gusar Fachrel sedari awal perjalanan, belum usai juga. Ditambah lagi, sesak-nya sejak tadi juga tidak kunjung menghilang, kendati asma-nya sempat bisa dia kendalikan.
Dengan cepat dia membuka helm yang dari tadi terasa begitu menyiksa pernafasan. Sesak yang membelit jalur pernafasannya semakin melilit. Beberapa kali pula dia terbatuk-batuk disana. Bahkan bunyi dari setiap tarikan nafasnya, terdengar begitu jelas. Dadanya seperti dihimpit dengan batu yang begitu besar, hingga sulit bekerja.
Setelah kakinya berhasil menapak paving blok berbentuk persegi panjang yang disusun sedemikian rupa, dihalaman depan. Fachrel berjalan menuju pintu depan, dengan perlahan dan sempoyongan. Saking cerobohnya, dia bahkan tersandung kakinya sendiri dan hampir menyentuh paving block yang dipijaknya.
Beruntunglah, Arka yang menyadari Fachrel tidak baik-baik saja itu, berinisiatif menyusul dengan cepat, dan berhasil menahan tubuh Fachrel dari jatuhnya.
"Hati-hati!" Ucap Arka yang masih memegang erat dan menahan lengan Fachrel, yang masih belum berdiri tegak.
Fachrel tidak menjawab, tapi Arka masih kekeh memapah anak itu menuju kedalam rumah. Saat telah sampai di ruang tengah, Fachrel melepaskan diri dari sisi Arka.
"Gue bisa sendiri, Ka. Thanks bantuannya," ujar Fachrel tanpa memandang Arka.
Perasaannya terlalu hancur, dan malu ketika jika harus beradu pandang dengan mantan sahabatnya itu.
"Oke.... Istirahat, nanti kalau butuh apa-apa chat gue. Kalau Mama sama bokap lo udah pulang, gue chat lo. Soalnya kayaknya Mama lagi pergi, karena mobil ngga ada digarasi tadi gue liat."
Fachrel mengangguk, tanpa sepatah kata lagi dia pergi meninggalkan Arka yang masih mematung ditempatnya, memandang punggung sempit Fachrel menghilang dibalik pintu kamarnya.
★★★★★
Dari sepulang sekolah, sampai gelap gulita datang. Arka tidak bisa tenang kepalanya ribut memikirkan segalanya yang telah dia dengar dari Papa-nya. Sungguh kepercayaan Arka sedang diujung kehancuran pada Mama dan Bian.
Gelisahnya terganggu kala satu dering ponselnya mengalihkan perhatian. Layar ponselnya menyala, dan sebuah panggilan telepon atas nama yang amat langka muncul disana.
Papa.
Nyatanya kali pertama dihidup Arka menerima pesan dari sosok Papa. Dia ingat betul bahwa mereka sempat bertukar nomor ponsel tadi, saat baru bertemu dan melepas rindu. Dengan atensi penuh Arka mengangkat panggilan itu.
"Halo, Pa,"
"Nak, sudah sampai rumah?"
Satu tanya yang membuat perasaan Arka menghangat sesaat kala dunianya sedang tidak baik-baik saja. Sebab, kapan lagi Papa menanyainya seperti itu? Ini pertama kalinya.
"Udah, Pa." Ujar Arka sembari bangkit dari rebahnya membuka dompetnya yang terdapat foto usang miliknya. Memandang saat Papa, Mama dan dirinya berada di dalam satu lembar potret yang sama, dengan senyum yang bahagia. Arka rindu, bisa kah semuanya diulang?
"Kamu sudah makan?" Satu tanya lagi dari Papa menyapa pendengarannya.
"Belum, Mama lagi masak. Mungkin bentar lagi,"
"Oh.... Ka? Besok kamu pulang sekolah jam berapa?"
"Jam tiga sore, kenapa?"
Tanya Arka tidak langsung dijawab melainkan Papa yang terdiam beberapa waktu disana.
"Papa mau ketemu, besok Papa tunggu dideket sekolah ya?"
"Oh.... Oke."
"Ya sudah, Papa mau cari makan dulu ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
General FictionHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.