Chapter 4 : Mengungkap rahasia

1K 70 6
                                    

Gelap telah menguasai langit, Arka mengemudikan motornya merayapi jalanan kota. Menembus dingin angin malam yang menerpa. Dibelakangnya ada Gibran mengemudi motornya, membuntutinya setelah menutup warung stand street food-nya tadi. Katanya sih ingin main, dan barang kali beristirahat sejenak dengan obrolan ringan dan bermain gitar seperti biasa.

Sesampainya di kontrakan, Arka menyalakan lampu ruangan yang masih mati seluruhnya. Hal itu membuat Gibran yang menunggu diambang pintu kembali bertanya hal yang sama seperti beberapa kali terakhir dia berkunjung ke kontrakan Arka.

“Tante Vania kemana Ka?”
Pertanyaan singkat yang selalu berhasil membuat Arka membeku setiap kali temannya menyuarakannya.

Haruskah Arka berbohong lagi? Lantas alasan apa lagi yang akan Arka berikan kali ini? Itu sebabnya tadi dia sempat melarang Gibran untuk ikut, tapi anak itu tetap bersikeras untuk ikut pulang bersamanya.

“Mama,.... Lagi belanja kebutuhan katering mungkin.”
Gibran terlalu paham dengan alasan itu yang berulang kali Arka berikan.

Gibran tahu ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Dengan berjalan perlahan mendekati Arka yang masih mematung didekat saklar lampu ruang depan, Gibran menepuk pundak Arka.

“Sebenernya ada apa? Sejak masuk tahun ajaran baru lo berubah. Ada masalah apa? “

Arka gelagapan ketika Gibran mulai berhasil meraba perasaan yang coba dia tutupi selam ini.

“Nggak ada apa-apa Gi, setiap orang bisa berubah kapan saja kan?” elaknya.

Tapi Gibran bukan orang buta atau orang yang mati perasaannya, untuk sekedar menyadari sedikit demi sedikit perubahan Arka yang memunculkan tanya.

“Gue dan Aldo udah berusaha nunggu penjelasan lo selama setengah tahun atas perubahan sikap lo. Kita bahkan mencoba mengerti sama kondisi lo. Kita nggak pernah mendesak lo untuk langsung cerita saat kita rasa ada yang nggak beres sama lo. Tapi semakin kesini lo semakin ngga bisa kita pahami Ka, lo banyak diem, suka ngelamun, kadang gampang emosi, dan ngga konsen juga kadang.  Gue pikir baik gue atau Nando itu udah layak buat dibilang sebagai sahabat, yang pantas buat nerima cerita -cerita lo. Tapi kayaknya lo belum mau untuk bersikap terbuka sama gue ataupun Aldo.”
Panjang kalimat Gibran membuat Arka terhenyak, Arka rasa tidak mungkin juga untuk menutupi segalanya terlalu lama.

Sebenarnya Arka tau akan ada saatnya rahasianya terbuka pada waktunya. Tapi Arka terlalu sibuk menutupi semuanya hingga lupa mempersiapkan diri untuk kemungkinan yang sudah dia perkirakan.

Arka melepaskan tas ranselnya, menaruhnya diatas sofa sederhana diruang tamu yang tidak seberapa luasnya. Dia duduk dengan menyandarkan kepala punggung disandaran sofa, mendongakkan kepalanya menatap langit-langit ruang berwarna putih diatas kepala. Nafasnya berat terhembus dengan desahnya.

“Gue nggak bermaksud bikin kalian berpikir begitu. Gue cuma memang lagi menutup ini semua, dari semua orang. Selain karena dasarnya gue pengen jaga rahasia ini, gue juga males mau ceritainnya. Karena cerita hal ini, Cuma buat gue semakin sakit aja Gi.”

Gibran berjalan mendekati Arka, dan ikut duduk di sofa dengan fokusnya tertuju padanya anak itu yang masih fokus menatap langit-langit ruangan.

“Kenapa? Ada masalah apa?”

Arka membuang nafasnya lagi, menegakkan posisi duduknya. Tapi matanya tak sedikit menaruh perhatian ke Gibran selaku lawan bicara.

“Jauh sebelum gue pindah kesini, gue udah kenal sama Fachrel dan keluarganya. Dan ada konflik antara gue dan mereka. Terlebih sama bokapnya tuh anak. Itu kenapa gue nggak pernah akur sama dia. Bahkan gue rahasiain dari Mama kalau gue ketemu sama Fachrel. Begitu juga anak itu, dia bilang dia nggak akan pernah mau bokapnya ketemu Mama lagi. Dan lo tau? Semesta itu banyak nyimpen rahasia lebih dari yang gue bayangkan. Malam itu, Mama yang janji keluar untuk ketemu seseorang malah pulang sama bokapnya Fachrel, dan bilang mereka udah tunangan. Tanpa sepengetahuan gue mereka mengambil keputusan itu. Tanpa pendapat gue Mama mutusin untuk nerima cincin tunangan itu. Gue nolak, tapi gue juga sakit liat Mama nangis didepan gue. Alhasil gue Cuma bisa iya-in keputusan mereka. Dan mereka menikah sekarang.”

Arka menjeda kalimatnya, mengambil nafas untuk melanjutkan kalimatnya lagi, memperjelas apa yang dia alami. Sedangkan Gibran masih setia terdiam mendengar perkataan Arka baik-baik.

“Terus sejak 6 bulan lalu Mama pindah kerumah anak itu, dan gue tetep kukuh tinggal disini. Meskipun mereka bujuk gue buat tinggal bareng. Gue merasa nggak dihargai sebagai anak. Gue kecewa, tapi gue sayang banget sama Mama. Yang lebih ngga bisa gue paham, Fachrel dan bokapnya yang selancang itu ngambil keputusan sepihak, mereka tau gue sayang banget sama Mama sampai pakai cara kotor maksa gue nerima semuanya lewat Mama. Dan anak itu, gue benci banget karena dia bermuka dua. Didepan gue dia keliatan ngga akan setuju sama pernikahan Mama sama bokapnya, tapi kalo didepan bokapnya dia nurut-nurut aja! Gue curiga kalo tuh anak yang ada dibalik semua ini.  Brengsek banget!”

Jelas dari penggalan kalimat itu, Arka menahan amarahnya yang dapat dirasakan panas baranya. Dapat tersirat pula sesak kecewa dan luka yang dia tidak ungkap secara gamblang.

“Gue paham. Yang gue nggak paham, sejak awal lo memang nggak suka sama keluarga Fachrel karena apa?” tanya Gibran mencoba mengetahui secara detail semua masalahnya, agar dia tidak salah menilai dan menghakimi orang.

“Gue ngga bisa cerita itu Gi, gue males bilangnya. Itu luka lama gue. Itu sebabnya gue berusaha nutupin semuanya. Karena dengan cerita luka yang sekarang bakal membuka luka lama gue lagi. Saking bencinya gue sama Fachrel dan bokapnya, gue bahkan ngga mau anak-anak satu sekolah tau gue sama dia saudara tiri sekarang.”

Gibran mengangguk mengerti, tidak pula dia berkeinginan untuk memaksa Arka menceritakan hal menyakitkan yang menambah lukanya.
Benar, bahkan hanya menceritakan luka barunya saja bisa menimbulkan sesak yang setengah mati Arka kendalikan, mencoba bertahan dengan tegar didepan Gibran.  Tapi sadar atau tidak, sebenarnya luka lama Arka sudah kembali menganga.

Meskipun dia tidak membahasnya, tapi otaknya tanpa sadar seringkali memutar kenangan lama yang menyakitkan baginya, setiap kali kepalanya dipenuhi oleh masalahnya sekarang. Tepat seperti yang Arka katakan, lukanya yang sekarang akan selalu terkait dengan luka lamanya.

“Mungkin suatu saat gue bakal jelasin singkat tentang ini ke Aldo, karena dia juga selalu bertanya-tanya dengan perubahan sikap lo. Dia juga sahabat kita. Jadi sebelumnya gue minta izin dulu ke lo, kalo gue harus kasih tau Aldo pada akhirnya. Tapi lo kenal gue dan Aldo gimana. Lo bisa percaya ke kita. Semuanya bakal aman. Yang penting kita udah tau alasan Lo berubah. Gue dan Aldo bakal selalu dipihak lo.” Gibran meyakinkan.

Arka mengangguk, menatap mata Gibran seolah menyampaikan makna kalau dia percaya. Setidaknya untuk kali ini Arka masih punya Gibran dan Aldo yang bisa menopangnya, meskipun tidak sekuat bagaimana Bunda menopangnya dulu ketika dia hancur dihadapkan oleh perpisahan orang tuanya.















Halo, terimakasih banyak atas vote dan apresiasi teman-teman semua. Meskipun author ngga tau juga, kalian vote karena ngga enak atau karena memang suka. Hehehe.

Tapi author mengucapkan terima kasih, atas voment dan support kalian. Kalau-kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan saja ya!

Kalau pertanyaan kalian kenapa Author jadi lebih aktif beberapa waktu ini? Itu karena aku lagi mencoba menata ulang semua seperti seharusnya. Tapi kalau pertanyaan kalian tentang cerita ini, sampaikan di kolom komentar ya!

Jaga kesehatan dan jangan lupa makan.
See you.

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang