Chapter 34: Badai.

607 65 22
                                    

Bian menunggu dengan gelisah. Beberapa kali dia mengetuk jari-jarinya ke lingkar stir mobil yang dia tepikan di pinggir jalan, depan sekolah anak-anaknya.

Sudah dari tadi anak-anak murid disekolah ini keluar, pulang. Tapi tidak pun salah satu putranya menunjukkan batang hidungnya. Tidak Arka atau bahkan Fachrel. Tidak sabar lebih lama menunggu, Bian keluar menghampiri seorang satpam yang sedang berjaga.

"Permisi, Pak?" Sapa Bian.

"Eh, iya. Pak Bian kan ya?" Ucap satpam itu, yang langsung bangkit dari duduknya.

Tidak heran jika satpam itu mengenal Bian. Bukan, bukan karena Bian pemilik yayasan atau orang dengan kuasa besar yang berkaitan dengan sekolah. Tapi, karena Bian kerap kali menjemput Fachrel sejak anaknya masuk kelas 10 di SMA ini. Tidak setiap hari sih, tapi terhitung beberapa kali satpam itu bertegur sapa dengan Bian saat menjemput atau mengantar Fachrel.

"Iya, ini ngomong-ngomong anak-anak sudah pulang semua, Pak?"

"Iya, sudah Pak. Itu tinggal beberapa anak ekskul futsal sama Pencak silat. Ada apa ya, Pak?" Jawab satpam itu menunjuk ke arah lapangan yang ramai dengan anak-anak ekskul.

"Kok Fachrel belum keluar ya Pak? Arka juga nggak kelihatan, apa tadi pagi dia berangkat sekolah?" Tanya Bian lagi sembari celingukan, mencari sosok yang dinantikan.

"Waduh, kalau Mas Arka setahu saya dia nggak berangkat deh, Pak. Soalnya biasanya dia suka telat kan, bareng temen-temen nya, Mas Gibran dan Mas Valdo. Tapi tadi nggak lihat dia bareng mereka. Kalau Mas Fachrel, saya juga nggak lihat berangkat, mobil yang biasa antar juga nggak kelihatan kemari Pak," ungkap satpam itu.

"Hah? Masa?" Kaget Bian tampak tidak percaya.

"Iya Pak,"

Bian terdiam sejenak, bingung dengan apa yang terjadi. Kemana Fachrel pergi jika tidak kesekolah? Ada miskomunikasi antara dia dan Pak Murdi lagi ini, pasti.

"Oh ya sudah, terima kasih Pak. Kalau begitu saya pamit, Pak," pamit Bian.

"Baik Pak, sama-sama."

Dengan tergesa Bian buru-buru pulang, untuk segera menginterogasi supirnya.

Dengan kecepatan cukup tinggi, Bian memacu laju kendaraannya menuju rumah. Saking tidak sabaran untuk menanyai Pak Murdi. Apa yang telah dia lewatkan? Menjadi titik penasaran yang mengubah suasana hati Bian menjadi lebih gelisah.

Sesampainya di rumah, Bian langsung memarkirkan mobilnya didepan. Dia turun dengan segera. Langkahnya sedikit berlari menuju Pak Murdi yang sedang mencuci mobil sembari bersiul.

"Pak!" Panggil Bian.

Pak Murdi lantas menoleh dan menghentikan segala aktifitasnya.

"Ada apa, Pak?"

"Tadi pagi Bapak mengantar Fachrel ke sekolah?"

Pak Murdi menepuk keningnya, "Astaghfirullah!!"

Hal itu membuat Bian semakin kaget dan bingung.

"Kenapa Pak?" Tanya Bian dengan penasaran.

"Tadi pagi, saya mengantar Mas Fachrel memang Pak, niatnya ke sekolah. Tapi ditengah jalan, Mas Fachrel bilang kalau dia mau berangkat sama temennya. Minta berhenti di tengah jalan, ada urusan sama temennya itu, ceunah. Pas saya tanya, katanya dia udah bilang sama Bapak.  Dan dia nitip ini..."

Pak Murdi berlari menuju kamarnya, entah apa yang akan dia lakukan, Bian tidak bisa menerka. Yang jelas, dari penjelasan Pak Murdi baru saja, dia sudah menyimpulkan anaknya pasti pergi kabur, dengan membohongi Pak Murdi dan menggunakan alibi berangkat sekolah untuk bisa bebas.

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang