Mata bertemu mata, pandangannya mendongak menatap ke atas. Menatap wajah tampan itu yang terlihat meyakinkan. Dirinya merasakan kenyamanan kala, usapan lembut jemari tangan lelaki itu membelai pipinya.
"Nggak apa-apa, kamu nggak salah apa-apa, Van. Sekarang toh Fachrel sudah baik-baik saja," ucap lelaki itu– Bian, yang baru saja pulang dari perjalanan bisnis.
"Tapi aku masih merasa bersalah," Vania memegang punggung tangan Bian yang lembut membelai wajahnya.
Bian tersenyum, dan mendekatkan wajahnya maniknya menyelami kelereng hitam milik Vania.
"Apa yang dilakukan kamu itu awalnya demi rencana baik. Jadi, aku memaafkan kamu seandainya ada kesalahan. Toh, awalnya aku juga sudah menyetujui segala rencanamu, kan?.... Yang terpenting sekarang bagaimana? Apa ada peningkatan?"
"Ada, Mas. Tapi tidak terlalu besar. Minimal sekarang mereka jadi lebih sering berdua dan sering interaksi. Apalagi pas Adek sakit, Abang kelihatan khawatir. Dia juga kelihatan nyesel. Aku juga sudah minta dia minta maaf, ke Adek. Karena gara-gara Abang ceroboh, lupa sama janji. Terus kayaknya mereka jadi lebih ngga terlalu kaku gitu deh. Meskipun kalau ketemu ya biasa, kerjaannya adu argumen."
Mendengar itu, Bian menarik diri. Dia membuang nafas lega. Tangannya beralih pada simpul dasi, yang kini coba dia urai.
"Syukur deh, minimal ada komunikasi. Ngga cuma saling lirik dan saling gebug," kekeh Bian yang membuat Vania ikut terbawa suasana, hingga ikut tertawa.
Vania bangkit, dari duduknya. Dia mengerti bahwa sekarang suaminya butuh di prioritaskan.
"Ya udah, aku mau siapkan makan siang dulu. Nanti sore katanya Pak
Hardi baru bisa sampe sini, jadi Bunda minta Abang buat pulang bareng Adek lagi. Kamu istirahat dulu"Vania pun meninggalkan Bian dikamar sendirian, untuk istirahat setelah pulang. Setidaknya ada kelegaan di hati Vania setelah menjelaskan dan mendapatkan pengampunan Bian.
★★★★
Bagi Bian, semua rencana yang telah disepakati oleh dirinya dan sang istri tidak terlalu buruk. Ada hasil yang lumayan bisa dianggap sebagai peningkatan.
Bahkan sejak kepulangannya beberapa hari lalu, dari hari ke hari sejak saat itu, dia bisa melihat perubahan sikap Arka yang tidak terlalu kasar seperti sebelumnya, baik dengan Bian ataupun dengan Fachrel. Pun dengan putra kandungnya, yang terlihat lebih santai dari pada yang sudah-sudah.
Sedikit konversasi yang kadang, dilontarkan Bian ataupun Vania pada Arka atau Fachrel untuk memecah kecanggungan yang ada, juga di tanggapi dengan lebih nyaman, meskipun tidak pernah bertahan lama.
Tapi hal itu sudah lebih dari cukup bagi Bian. Dan Bian juga Vania tidak akan pernah berhenti untuk terus mendekat kan hubungan antara Arka dan Fachrel agar bisa saling menerima seperti dulu, saat mereka mampu berteman akrab saat usianya belia.
Pagi ini, ditengah suasana ruang makan yang tenang, Vania membuka sebuah pembicaraan.
"Bang, mau bawa bekal nggak?"
Arka menggeleng, "Nggak usah, Ma. Aku bisa makan di pinggir jalan, di kaki lima, di kantin sekolah juga nggak terlalu mahal,"
Vania mengangguk, kemudian pandangannya beralih pada si bungsu yang sedang khidmat menyantap makanannya.
"Oke deh, kalau Adek mau bawa bekal?"
Fachrel menaruh sendoknya, menatap Bian sesaat sebelum menjawab.
"Nggak perlu deh, Bun. Toh nggak ada masalah keuangan lagi, Ayah bisa kasih uang saku yang cukup buat makan siang dikantin."
"Hmm, mau kompakan kamu dek sama Abang? Brother date gitu aja sekalian, biar akrab," ledek Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined
Fiksi UmumHanya karena tidak menunjukkannya, bukan berarti aku baik-baik saja.