Chapter 11 : Egois.

733 54 8
                                    

Kalau ada yang bilang, setiap garis kehidupan sudah ditentukan pastilah Fachrel percaya dengan hal demikian. Tapi, ada satu yang tak dia mengerti, kenapa musti ada tangis kala senyum katanya lebih indah? Kenapa ada sakit ketika sehat lebih didamba? Kenapa ada sedih kala lebih banyak orang yang menginginkan bahagia? Kenapa musti ada hal demikian yang terlukis dalam rencana-Nya?

Fachrel membuka matanya, melihat kesekitar yang masih gelap meremang. Hanya ada lampu tidur yang nyalanya tak seberapa memberikan penerangan. Dia menoleh kearah samping, ternyata ada sosok Bian yang tidur di dekatnya. Fachrel tidak pernah menyangka akan hal ini.

Fachrel mencoba terbangun dari rebahnya, dengan tangannya yang melepaskan masker nebulizer yang tadi masih menyulitkan pergerakan. Dia melirik jam elektrik yang ada diatasnya meja, menunjukkan angka 06.15 dengan huruf a.m di sampingnya menyala.

Kakinya perlahan turun dari ranjang, meskipun agak sedikit tertatih sebab kepalanya yang masih terasa sedikit pening, Fachrel tidak terlalu memperdulikannya. Dia berjalan menuju jendela kaca besar yang tirainya masih tertutup sempurna.

Hingga cahaya langit yang sudah berubah warna menjadi lebih terang, menyapa ruangan. Meskipun kondisinya masih mendung dengan mega  sedikit kelabunya masih setia diatas sana. Minimal kini ruangan kamar tidak terlalu gelap gulita.

Terusik dengan suara singkapan tirai disana, Bian melenguh dan perlahan membuka mata juga. Mengangkat tubuhnya sendiri untuk bangkit dari baringnya.

“Dek, kamu udah mendingan?” Bian berjalan mendekati putranya.

Fachrel mengangguk sembari membuka tirai jendela yang lain. Tapi pergerakannya terhenti kala tangan besar Ayahnya menahan pergelangan tangannya.  Bian menaruh sebelah telapak tangannya dikening Fachrel, untuk memastikan.

“Masih hangat, tapi tidak sepanas tadi malam. Apa masih pusing?”

“Sedikit.”

Bian mengernyit mendengar jawaban Fachrel, dari suaranya masih terdengar sirat kecewa dan kesal didalamnya.

“Kamu masih marah?”

Fachrel mematung ditempatnya, tapi tidak pula dia bersuara. Dia hanya terlalu bingung sekaligus enggan untuk mengakui bahwa dia marah, kenapa ayahnya musti bertanya segala?

“Ayah bertanya Rel, yang Ayah butuh jawaban bukan diammu?” ucap Bian dengan serius.

Dengan terpaksa akhirnya Fachrel membuka mulutnya.

“Menurut Ayah bagaimana?”

Bian tidak habis pikir, Fachrel begitu enggan untuk mengakui bahwa dia masih kecewa. Padahal, Bian menantikan dia berbicara jujur dengan segala alasannya. Tapi bukan hal itu yang didapat, malah anak itu balik bertanya. Bukan hanya bisa memijit pangkal hidungnya, menghela nafas panjang dan duduk di kursi sofa dekat jendela, agar dia bisa berbicara lebih santai sedikit dan leluasa mengontrol emosinya.

“Maaf kalau Ayah memarahi mu lagi semalam, Ayah hanya tidak suka Fachrel seperti itu. Ayah tidak mau kamu nantinya akan dibenci Arka seperti dia membenci Ayah. Dan juga Ayah takut pertengkaran semalam akan memperkeruh suasana dan hubungan Ayah dengan Arka.”

Fachrel terkekeh kecil, bagaimana Ayah bisa berpikir demikian? Sedangkan apa yang Fachrel alami dan apa yang telah terjadi diantara Arka dan dirinya lebih dari sekedar ketakutan itu.

“Setelah apa yang telah terjadi sebelum itu, hubungan ku dan Anak tiri Ayah itu memang sudah tidak baik-baik saja. Kami saling membenci. Dia membenciku seperti dia membenci Ayah. Dan aku pun demikian. Aku membencinya seperti aku membenci Ibunya. Tapi aku tidak seegois anak itu, Yah.” Fachrel
menjeda kalimatnya mengambil nafas panjang untuk meneruskan apa yang ingin dia sampaikan.

“Aku tidak bisa bersikap seenaknya dan menuduh orang sembarangan, terlebih aku tahu Tante Vania orang yang baik. Aku masih bisa bersikap sopan untuk menghormati apa yang telah diputuskan, karena dihidup ini bukan melulu harus mementingkan diri sendiri. Aku mau dia  juga bersikap begitu. Menghormati Ayah meskipun dia tidak menyukai Ayah. Bersikap biasa saja, sudah itu saja!” tegasnya.

Dari kata perkata yang terucap jelas Fachrel tidak berbohong dengan apa yang dia rasakan, kecewa itu tampak melukai Fachrel dengan dalam hingga suaranya terdengar bergetar.

“Apa aku salah, Yah? Apa aku salah menunjukkan perasaan dan emosi ku? Apa perasaan ku kalah penting dengan hubungan Ayah dengan Arka? Apa harusnya aku diam saja? Apa Fachrel yang seperti itu yang Ayah suka?” tanya Fachrel dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Setelah mendapat penjelasan demikian panjang, Bian justru terdiam. Ada sesak yang meronta ingin dilepaskan, ada rasa bersalah yang menyelinap didalam ruang dada yang senyap. Bian baru sadar jika yang dia katakan, dan apa yang dia telah lakukan  telah menyakiti perasaan Fachrel begitu dalam.

“Fachrel, Ayah tidak bermaksud demikian. Karena kamu tahukan bagaimana buruknya hubungan Ayah dan Arka. Bagaimana begitu sulitnya Ayah untuk sekedar mendekati Arka. Ayah hanya tidak mau semuanya semakin sulit. Baik untuk Ayah atau pun kamu. Ayah hanya ingin hubungan kita dengan Arka bisa membaik dan kita bisa hidup berdampingan dengan bahagia.”

Fachrel hanya terdiam, sungguh dia tidak ingin mengeluarkan kata-kata lagi. Rasanya Ayahnya memang tidak akan mengerti maksud Fachrel disini.

Tidak ada jawaban dari Fachrel, Bian tahu anaknya benar-benar sangat kecewa saat ini. Maka dengan hati-hati dia mencoba mengalahkan ego dengan meminta maaf kepadanya.

“Ayah minta maaf, jika itu menyakiti perasaan mu. Tapi Ayah mohon jangan lakukan hal nekad seperti tadi malam. Ayah paham kamu sedang emosi. Tapi kamu bisa rasakan kan, akibatnya? Ayah tidak ingin hal ini terulang lagi.”

Masih tidak mendapatkan respon berarti, Bian pun tidak bisa berbuat banyak selain hanya membiarkan anak itu memiliki waktu untuk sendiri.

“Ayah akan mandi dan meminta Bi Ambar untuk menyiapkan bubur sarapan mu. Kamu istirahat dulu kalau masih pusing.” Tukas Bian sebelum akhirnya dia benar-benar keluar dari kamar anaknya.

Sekeluarnya Bian dari kamarnya, air mata yang sudah menggantung pun akhirnya benar-benar terjun bebas tanpa hambatan. Seluruh pertahanan Fachrel hancur begitu saja, tanpa ada halangan.

Dia meraup wajahnya kasar, rasanya ingin menghancurkan segalanya yang ada dihadapan. Atau berteriak keras keluar sana, agar dunia tau bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.

Egois.”










Halo
Selamat malam, Arka dan Fachrel kembali. Masih menunggu?

Semoga terhibur. Terima kasih banyak atas vote, komentar dan support teman-teman.
Jaga kesehatan dan jangan lupa makan.

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang