Chapter 33 : Kabur.

617 64 9
                                    

Vania pulang dengan tangan kosong. Dia begitu lunglai berjalan, menerima keadaan bahwa semuanya kacau. Dia tidak menyangka bahwa Rully akan datang secepat ini. Menghancurkan kebahagiaan yang baru saja akan bersemi.

Bahkan untuk mendorong pintu masuk saja dia mengerahkan tenaga yang cukup besar.

"Van? Bagaimana?" Satu tanya menyambut kepulangan Vania.

Dari siapa lagi kalau bukan Bian yang sedari tadi sudah menunggu. Bian sendiri kaget melihat Vania pulang dengan kondisi demikian. Pipinya basah karena air mata. Matanya memerah.

Tiba-tiba saja Vania justru menubruknya, memeluk erat dirinya. Alih-alih menjawab pertanyaan.

"Mas.... Aku..... Kehilangan jejak Arka. Dia nggak mau dengerin aku...." Ucap nya dengan deraian air mata.

Bian mengerti, dia tahu rasa sakitnya. Dia mengelus punggung Vania pelan. Mencoba menenangkan sang istri sebisanya.

"Kita cari lagi besok. Kita cari kesekolah mereka, ke rumah temannya, atau kemanapun. Kita pasti bisa menemukan dia. Terus kita jelasin ke mereka sejelas jelasnya. Biar mereka nggak salah paham. Semuanya akan baik-baik saja, Van."

Dalam dekapannya, Bian bisa merasakan kepala Vania mengangguk.

Bagaimana pun, yang dirasakan Vania sama hal nya dengan yang Bian rasakan sendiri. Anak kandungnya jelas masih salah paham terhadap semuanya.

★★★★★

Arka menghembuskan nafasnya kasar, manatap kosong pada segelas air putih yang di sediakan lelaki yang sedang duduk di sampingnya itu.

Lelaki itu lamat memandang Arka, dengan wajah bingung. Bagaimana tidak? Pasalnya baru beberapa jam lalu, Arka bilang janji temunya masih esok sore, didekat sekolah. Malah tiba-tiba menelfon meminta bertemu dengan kondisinya yang kacau.

"Ka? Ada apa?"tanyanya, pada akhirnya dia berani memecah hening yang sempat sempurna melingkupi suasana.

"Pa,.... Maaf ya, aku udah mengecewakan. Harusnya aku nggak pernah biarin Mama menikah sama manusia brengsek itu!"Ujar Arka sekon selanjutnya, tanpa melirik pada Papa-nya.

Rulli tersenyum tanpa suara. Dia menepuk pundak anaknya.

"Papa ngerti kok, kamu nggak perlu merasa bersalah. Ini semua tuh karena keegoisan mereka, Ka. Bukan salah kamu."


Arka lantas menoleh, sekali lagi semuanya terasa benar. Apa yang Papanya ucapkan memang benar. Arka tidak salah disini. Jika bukan karena Mama yang bersikeras ingin Arka percaya dan menerima Bian, maka dia tidak akan termakan oleh ucapan Fachrel. Meskipun Fachrel sendiri menjadi korban disini. Bian benar benar memiliki nilai yang buruk dimata Arka, karena menggunakan Mama dan Fachrel sebagai alat agar Arka mau menerimanya. Keterlaluan!

"Pa,.... Aku tinggal disini sama Papa, boleh?" Tanya Arka.

Rully tampak diam beberapa saat, membuat Arka takut jika Papa tidak akan menerimanya.

"Boleh-" jawab Rully, tapi bahkan Rully belum sempat menyelesaikan ucapannya, Arka sudah menubruknya.

"Makasih, Pa..." Ucap Arka dalam pelukan Rully.

Arka sangat senang karena Papanya bisa dia jadikan sandaran lain selain Mama.

"Ka, dengar Papa dulu." Rully melepaskan pelukannya, menatap manik Arka dengan serius, "kontrakan Papa kecil begini, apa tidak apa-apa? Selain itu, Papa juga nggak se-kaya Bian, jadi belum tentu hidup kamu terjamin."

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang