Chapter 7 : Ulang tahun Mama.

831 63 8
                                    

Arka menarik rambutnya hingga dahi yang biasanya tertutup rambut sedikit gondrong miliknya itu terekspos dengan jelas. Dia sedang dilanda kebimbangan yang mengusik pikiran dan mengganggu moodnya di pagi-pagi begini.

"Woy! Kenapa sih bos?! Mumet amat kelihatannya?" sapa seorang tiba-tiba menepuk pundaknya.

Sedikit terkejut, Arka menengok ke samping, rupanya Gibran baru sampai dan dengan tampang yang tidak merasa berdosa tersenyum kepadanya.

"Nggak perlu nyengir kayak kuda Gi! Udah ngagetin orang masih bisa-bisanya Lo nyengir begitu. Nggak ada adab lo!" ujar Arka dengan sedikit kesal.

Bagaimana dia tidak kesal, pasalnya pikirannya sedang kusut ditambah tiba-tiba Gibran datang tanpa permisi dan memasang ekspresi wajah yang tak tau diri.

"Ye maap, sensi amat! Lagian lo lagi mikirin apaan dah, pagi-pagi? Orang kok setiap hari muka ditekuk mulu, cepet tua Ka! Cerita - cerita sini!"

"Ngga ada apa-apa." Jawab Arka cepat.

"Kebiasaan lo begitu! Males gue mah!"

Mendengar protes Gibran, Arka teringat ucapan bocah itu semalam. Akhirnya dengan tarikan nafas panjang, Arka membuka suaranya mencoba untuk membagi sedikit pikirannya pada sahabatnya itu.

"Bingung nih gue, hari ini Mama ulang tahun. Tapi gue nggak tahu harus kasih apaan. Mau beli yang mahal budget ngga mencukupi, mau beli yang biasa aja, kalah saing nanti gue sama tuh manusia licik."

Tanpa dijelaskan panjang lebar, Gibran sudah bisa menangkap perkataan Arka, dia mengerti siapa itu manusia licik yang Arka tuju.

"Kasih semampu lo aja sih gue bilang. Gue tau banget Tante Vania itu kayak gimana, gue rasa apapun yang Lo kasih bakal dia terima dengan baik. Tapi kalau pun lo pengen beliin yang lumayan mahal, gue ada sedikit uang buat bantuin lo. Cuma ya nggak tau cukup atau ngga."
Arka menimbang ulang perkataan Gibran, barang kali ada benarnya ucapan Gibran tadi.

Mamanya memang orang yang sangat pengertian. Finalnya, dia akan membeli barang yang semampunya dia beli.

Arka bisa bernafas lega ketika keyakinannya kembali dia temukan, dan dia terbebas dari rencananya untuk menggunakan uang pemberian Bian semalam. Sungguh Arka sangat benci, bahkan untuk sekedar memasukkan pemikiran itu kedalam rencananya saja dia terpaksa.

"Oke deh! Thanks ya Gi, lo udah kasih gue bantuan untuk memutuskan!"

Gibran meringis lagi menanggapi ucapan terima kasih dari Arka. Seolah merasa bangga atas apa yang dia lakukan kali ini.

"Udah gue bilang jangan meringis gitu! Jelek! Mirip kuda!"

Gibran langsung mengatupkan mulutnya, kesal dengan perkataan Arka yang seenaknya.

"Lo nggak tau adab juga ya Arka Dion Athama! Udah dikasih bantuan masih sempet lo hina- hinu gue?"

"Iya gimana, habis gue berteman sama lo sama si Aldo, jadi ketularan ngga punya adabnya! Ya maaf!"

"Eh! Apaan nih bawa-bawa nama gue?". Bukan suara Gibran atau Arka sekarang, tapi Aldo yang baru datang dengan melepas jaket basah yang digunakan.

"Nyamber aja lo!" Jawab Arka.

"Kehujanan lo?" tanya Gibran.

"Nggak, ini tadi kesiram air langit aja dikit." Aldo merotasi bola matanya, jengah dengan pertanyaan konyol yang terlontar dari mulut Gibran.
Aldo menaruh tasnya di bangku tepat didepan Arka. Dan menatap Gibran dengan sedikit sinisnya.

"Gi, besok kalo berangkat jangan lupa bawa otak. Kalo turun dari motor dicek, nyangkut ngga tuh otak di helm." Lanjut Aldo.

Gibran mengerutkan keningnya, alisnya hampir tersambung. Kesal dengan untaian kalimat Aldo yang baru saja terlontar. Pagi ini dia sudah terkena serangan oleh Arka dan Aldo sekaligus.

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang