Chapter 6 : Musim hujan.

857 59 25
                                    

Bulan berganti, musim ikut turut serta bergiliran peran. Oktober ke Maret, musim hujan datang membasahi sebagian wilayah bumi.


Mendung tak kunjung hilang, dari langit kota ini. Airnya juga kemungkinan akan mulai jatuh mengguyur  bumi setiap hari. Dan Fachrel tidak suka itu. Dia tidak membenci hujan, tapi juga tidak menyukai jika datangnya  relatif sering dari waktu sebelumnya. Padahal dia tahu, kini revolusi bumi membuat musim berganti dengan musim yang mempertemukannya dengan rintik air itu lebih sering dari biasanya. Dan hal itu terjadi di setiap tahunnya.


Setelah memakai sweaternya menutupi seragam sekolah dan melapisi tubuh dari hawa dingin yang paling Fachrel hindari. Dia menyangklongkan tasnya, berjalan menuju meja makan untuk  segera bersarapan, karena Ayahnya telah menunggu bersama Ibu tirinya.

Sedikit berlari Fachrel menjangkau kursi, menenggak susu yang telah disediakan dan seperti biasa, piringnya yang selalu diisikan oleh Vania. Kemudian mereka sarapan dengan sedikit obrolan yang tercipta. Dan disana selalu Vania yang membangun percakapan ringan diantara mereka. Setelah Fachrel menyantap sendok terakhir sarapannya, Ayahnya mengeluarkan suara yang mengalihkan perhatian Fachrel sesaat.

“Dek, ini sudah masuk musim penghujan. Jaga dirimu sendiri, pastikan untuk tidak membuat masalah, apalagi membuat Ayah dan Bunda khawatir. Mengerti?” ujar Bian yang mendapat anggukan dari Fachrel.

“Iya, Fachrel ngerti Yah,”

“Ya sudah, hari ini Ayah yang mengantar kamu ke sekolah. Supir sedang Ayah minta servis mobil pagi ini. Nanti pulangnya dijemput supir saja, karena Ayah akan lembur kemungkinan. Tidak perlu membawa motor dulu.” Tegas Bian.

Fachrel mengerutkan keningnya, ada rasa yang tidak bisa Fachrel terima dan ingin melayangkan protesnya. Tapi dia gagalkan ketika melihat Ayahnya sudah dulu melayangkan tatapan tajam.

“Iya.” Setuju Fachrel terpaksa.

Kemudian Fachrel dan Bian segera  berpamitan dengan Vania dan berangkat meninggalkannya sendirian, dengan rasa bingung dan menunggu penjelasan dari keputusan Bian, melarang Fachrel membawa motor sendiri seperti biasanya.

★★★★

Suasana hening menyapa  dalam mobil yang diisi oleh anak dan Ayah ini. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan gelagat untuk memulai sebuah percakapan.

Mengeluarkan suara untuk memecah sunyi senyap. Hanya deru mesin mobil yang terdengar samar-samar. Begitulah bagaimana Bian hidup dengan putranya sebelum hadirnya Vania dan setelah perginya Marissa.

Dulu, sosok Fachrel kecil itu anak yang terbuka meskipun tidak secerewet dan seaktif anak-anak lainnya. Dan Fachrel kecil dululah yang mampu menarik Bian dari diamnya. Sedikit ucapan dan tanya sederhana yang keluar dari bibir Fachrel mampu membuka obrolan pendek diantara Marissa dan Bian yang notabenenya juga orang-orang yang tidak terlalu banyak bicara.

Namun sejak kepergian Bunda kandungnya, sosok itu seperti pergi. Percakapan pendek yang setidaknya bisa mewarnai hidupnya, kini jarang sekali hadir. Hidup sebelum adanya Vania dan setelah perginya Marissa bahkan lebih banyak diisi kedinginan dan sunyi yang terukir.

Bian semakin terlarut dalam diam ketika dia rasa Fachrel kini telah berubah. Anak itu hanya mengiyakan dan menjawab seadanya ketika Bian mulai memaksakan diri untuk membangun percakapan. Dasarnya Bian yang tidak pandai mencari topik, pun akhirnya memilih diam juga ketika konversasi yang dia buat berakhir secepat detik berganti detik lanjutnya.

UndefinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang