police and agent | 03 |

905 88 9
                                    

Matahari bersinar cukup terik siang ini, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat Haikal dan Raihan untuk mencari sampah di tempat penampungan. Haikal dan Raihan menggendong keranjang kayu yang digunakan sebagai tempat menampung sampah, sedangkan tongkat besi yang mereka bawa digunakan sebagai alat pemilah sampah-sampah.

Sesekali Haikal dan Raihan menyeka keringat yang mengucur deras dari pelipis. Keringat, bau apek, badan lengket, dan rambut lepek seakan menjadi penampilan sehari-hari mereka setelah bergelut dengan sampah-sampah ini. Ya, tidak apa setidaknya Haikal dan Raihan bisa makan enak dari hasil menjual sampah-sampah ini ke pengepul alih-alih makan makanan basi hasil mengorek tong sampah.

“Udah dapat banyak, Kal?” Dari jarak beberapa meter Raihan meneriaki Haikal yang tampak sibuk memilah sampah.

Haikal menoleh hanya untuk mendapati wajah lusuh Raihan. “Udah lumayan sih.”

“Ya udah, nggak usah lama-lama disini. Kalau udah banyak langsung jual aja ke pengepul.”

Lalu setelah mengatakan itu Raihan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan memang tidak mudah. Apalagi sejak kecil Haikal dan Raihan sudah hidup dibawah tekanan dan kerasnya dunia. Tidak ada yang namanya bersenang-senang atau bermain layaknya anak-anak seusia mereka. Haikal dan Raihan dipaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Awalnya memanglah sulit tapi semakin kesini Haikal dan Raihan mulai menikmati kehidupan mereka yang bisa dikatakan tidak seberuntung anak-anak lain. Ingin mengeluh juga percuma sebab tidak akan mengubah keadaan. Mati juga bukan pilihan yang tepat. Menjalani hidup mengikuti alur dari semesta menjadi pilihan terbaik yang bisa mereka lakukan saat ini.

“Aduh!” Haikal meremas perutnya yang mendadak merasa mules.

“Kenapa lo?” tanya Raihan pada teman seperjuangannya itu.

Haikal nyengir kuda. “Gue pengen boker, Han. Temenin yuk.”

Raihan praktis mendengus. Haikal selalu saja begini. Urusan buang hajatnya itu selalu tidak tepat.

“Ya udah, ke pasar aja,” saran Raihan seraya membenarkan tali keranjang yang melekat di pundaknya.

“Ogah harus keluar duit. Mending kita ke markas aja yuk. Disana, kan ada toilet dan krannya masih nyala,” balas Haikal yang malah memberikan opsi lainnya.

Raihan melotot. “Markas? Gila lo! Entar kalau ada yang lihat kita gimana? Kita bisa bonyok di gebukin.”

“Santai. Itu markas udah lama kosong juga, kan. Gue yakin Badrun sama antek-anteknya udah nggak berkeliaran disekitar sini.”

“Yakin?”

“Percaya sama gue.”

Raihan menimbang sebentar. Ada banyak risiko yang mungkin saja terjadi jika mereka kembali menginjakkan kaki di area markas, salah satunya bonyok. Sumpah Raihan ogah berurusan dengan Badrun dan antek-anteknya lagi.

Tapi ucapan Haikal tidak sepenuhnya salah sebab markas itu memang sudah lama ditinggalkan. Terhitung sejak 5 bulan lalu saat Haikal dan Raihan memutuskan untuk keluar dari dunia gelap Badrun dan bisnis kotornya itu. Meskipun Haikal dan Raihan harus rela di hajar habis-habisan oleh antek-anteknya Badrun karena dinilai sebagai pengkhianat.

Police And Agent |Jhonny Suh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang