Happy reading guys
Sebelumnya terima kasih banyak sudah mengikuti cerita Calvin dan Shena sampai part ini🥰
💕💕💕
Kebahagiaan yang sebenarnya Shena cari adalah bagaimana cara dirinya terlepas dari kungkungan pemikiran salah selama ini. Konsekuensi yang ia dapat setelah memutuskan untuk pergi dari keluarganya, terutama Calvin dan sang putra,sudah bisa ia prediksi bahwa pasti akan berat dan menyakitkan.
Berbeda dengan Calvin yang berusaha menerima semua takdir yang ada secara lapang dan bersabar. Shena justru perlu waktu lama untuk bisa menerima kehendak semesta yang dijatuhkan pada kehidupannya.
Ia tidak pernah membenci bayi suci yang lahir dari rahimnya. Namun, saat itu Shena memiliki anak bukan karena keinginan murni dari hatinya, melainkan ia jadikan jaminan untuk menebus kebahagiaannya sendiri.
Lantas dari situlah ia terus beranggapan bahwa dirinya bukan ibu yang baik untuk anaknya. Bukan istri yang baik untuk suaminya.
"Aku nggak terlambat,kan, Mbak?" Shena duduk termenung melihat barang-barangnya yang sudah siap untuk dibawa. Surai golden brown miliknya dibiarkan tergerai. Kemudian disematkan jepit kecil untuk memperindah penampilannya.
"Keputusanmu sudah sangat bagus, Non. Sekarang sudah waktunya kembali. Mbak yakin serangkaian konsultasi dengan psikolog selama ini bisa membuatmu jadi pribadi yang lebih baik lagi." Shena melirik sekilas sembari menyunggingkan senyum manisnya. Ia tarik napasnya pelan, mematikan kembali bahwa hatinya sudah siap dan menerima keadaan yang ada pada hidupnya.
"Apa kamu nggak ingin. Tidur bareng sama Clay? Mandiin dia? Main sama dia. Terus bisa nyusuin dia secara langsung, nggak kayak sebelumnya." Shena menoleh lagi dengan anggukan pelan. Boleh saja orang menganggap dirinya sebagai ibu yang jahat. Namun, selama ini ia terus melakukan pumping dan menjadikan Mbak Ica sebagai pengantar asi tersebut supaya sampai pada tangan Bude Mirna dengan tepat.
Sesekali Mbak Ica yang mengantar langsung di sekitar perumahan ketika Bude Mirna memberi info jika Calvin sedang tidak ada di rumah. Jadi mereka bergantian. Terkadang ketemuan di pasar, terkadang juga langsung diantar ke rumah tanpa sepengetahuan Calvin dan keluarga yang lain oleh Mbak Ica. Mereka harus pintar-pintar melihat waktu dan kondisi yang tepat untuk menyalurkan asi tersebut.
"Aku mau semua itu."
"Aku mau selalu ada di sisi Clay dan juga …."
"Juga?" sahut Mbak Ica. Ia dapati wajah perempuan itu yang kian bersemu merah. Sepanjang melainkan terapi mandiri dan konseling beberapa kali. Shena tak habisnya menceritakan tentang Calvin dengan begitu ekspresif. Apalagi ia sekarang tahu satu fakta. Bahwa anting yang dulu ia dapatkan dari seseorang tak diketahui, rupanya itu memang dari Calvin–suaminya sendiri.
Secara praktis, Mbak Ica menjadi saksi dan melihat banyak sekali perubahan pada perempuan yang sudah ia rawat sejak balita itu. Shena memang bukan anak yang pembangkang dan egois jika saja orang-orang di sekitarnya mau memahami dirinya sejak awal. Memberi perhatian dan kasih sayang yang setara seperti saudara lainnya.
"Siapa coba? Mbak mau denger kamu nyebut nama suamimu?" Shena membuang muka. Senyumnya yang seterang mentari itu kembali lagi ketika ingin menyebut satu nama yang berhasil merajai hatinya.
"Tiang listrik! Boneka santet! Hmm …. terus apa, ya? Dia ngeselin, Mbak! Masak nggak peka kalau istrinya ada di panti. Padahal dia ,kan, juga di sini waktu itu! Huh." Alih-alih terkekeh mendengar jawaban Shena yang menggebu disertai semu merah di pipi, Mbak Ica justru memandang perempuan itu dengan haru kemudian memeluknya dengan sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Enemy to be Pasutri
RomantikBagaimana jadinya, seorang pengusaha muda yang begitu rajin dan ambis dipersatukan dengan cewek mageran tapi mempunyai banyak impian seperti Shena Sandara? Keduanya terpaksa harus membangun rumah tangga tanpa pondasi cinta demi memenuhi keegoisan o...