💕Setitik rasa💕

686 97 98
                                    

Happy reading guys


💕💕💕

Sesuai janjinya ketika usai makan di pinggir jalan tadi. Calvin sudah menggelar kasur baru di depan ruang televisi. Sementara sofa berwarna magenta favorit keduanya kini sedikit dimundurkan hingga mencapai dinding pembatas ruang kerja milik Calvin.

Menyalakan air conditioner saja tidak cukup. Karena jika malam hari, Shena pasti merasa gerah. Jadi, Calvin bawa saja mist fan di kamarnya untuk ia taruh di sekitar kasur tersebut.

Hal ini mengingatkan dirinya saat dulu menginap di rumah sang nenek. Bedanya dulu hanya mengenakan tikar dari pandan. Ah, haruskah Calvin mengajak Shena untuk menemui neneknya yang kini tinggal di pedesaan. Sepertinya cocok untuk sekedar membersihkan pikiran dari masalah dan pekerjaan yang menerpa setiap harinya.

"Sudah siap," seru Calvin begitu selesai memasang spray bermotif bunga sakura. Kado pemberian dari salah satu tamu undangan di pernikahannya dulu.

Sementara Shena yang masih  sibuk memilih sheet mask untuk digunakan malam ini, menoleh sebentar pada Calvin dengan senyum sedikit mengembang. Walaupun hanya sekilas, tetapi bagi Calvin mampu menggetarkan dinding hatinya saat itu.

Mengingat tadi Shena secara spontan mencium pipinya saja, ia anggap sebagai salah satu keajaiban dunia. Atau haruskah dirinya melapor pada sejarawan untuk menambah ciuman langka Shena menjadi keajaiban dunia selanjutnya?

Lihatlah. Mati-matian lelaki berkaos sepak bola itu menyamarkan rona merah di pipi dengan menyibukkan diri. Semua yang ia tangkap oleh penglihatannya, Calvin lakukan untuk menetralkan hatinya.

Seperti membuka pintu utama lalu ditutup kembali. Menggeser kelambu yang semestinya tak perlu dibenarkan lagi. Menata bantal di ruang tamu yang sudah rapi, atau yang lebih mengherankan bagi Shena adalah ketika lelaki itu membasahi piring yang sudah dicuci.

"Kamu ngapain, Vin?" tanya Shena saat berhasil memilih satu varian sheet mask-nya.

"Oh, nganu—"

"Muka kamu,kok,merah? Jangan-jangan alergi seafood?" Reflek Calvin yang selesai mengelap tangan menggunakan handuk kecil menangkup wajahnya sendiri.

"Merah? Nggak,tuh."

"Kamu ngapain juga belum persiapan tidur? AC udah, kipas udah? Apa masih lapar?" Mengalihkan topik, Calvin kini menyapa kasur di atas lantai tersebut dengan berusaha tetap tenang. Padahal, malam-malam sebelumnya ia tak pernah secanggung ini.

"Nungguin kamu. Dari tadi sibuk banget kayaknya." Shena melirik sebentar. Kemudian ia lanjut membuka bungkus masker miliknya. Namun, ketika tangan yang semula mungil itu kini terlihat mengembung seperti molen hendak menempelkan sheet mask pada bare face-nya. Calvin menahan dengan ucapannya,"Mau aku pakein?"

Untuk beberapa saat keduanya saling terdiam. Menyisakan suara penyiar berita yang tengah menyaksikan mereka.

"Bisa?" Sadar sedang diamati, cepat-cepat Shena menelan salivanya sendiri. Kemudian menyodorkan masker tersebut pada tangan Calvin yang terulur.

'Ngapain juga sok-sokan mau bantuin? Grogi tanggung sendiri, ye.'

'Sialan. Ni bocah makin bersinar aja kayak lampu philip.  Mana mukanya makin gemesin kalau lagi mlongo. Emangnya lucu Shen kaya gitu? Lucu banget elaaah. Bikin harga diri aku turun aja sih titisan kodok ijo. Ck'

'Nggak usah kedip-kedip juga kenapa tuh mata. Ibu hamil tuh harusnya makin kelihatan keibuan, bukan kayak remaja puber yang– cantiknya ngawur banget'

From Enemy to be PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang