💕Permainan rumah tangga💕

707 109 43
                                    


Happy reading guys



💕💕💕


Jika mengikuti teori pada lima hirarki kebutuhan  manusia yang dipopulerkan oleh tokoh psikologi Abraham Maslow, sepertinya Calvin sudah mencapai semua itu. Hanya saja, di antara lima tingkat kebutuhan yang mencangkup tentang, physiological needs, safety needs, social needs, esteem needs, hingga yang paling puncak adalah self actualization.  Ada satu hal yang belum bisa ia capai. 

Dalam social needs, tentu ia sudah merasa mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga juga orang-orang terdekatnya. Namun, untuk persoalan cinta. Sepertinya masih samar dalam pandangannya sampai saat ini setelah Calvin memutuskan hubungan dengan sang kekasih. 

Bahkan hingga detik ini, antara dirinya dan Shena sama sekali belum saling mengakui perasaan. Apalagi dengan Clara, yang Calvin rasa cinta itu sudah mulai terlihat remang sejak perempuan tersebut menyatakan penjelasan palsu tentang dirinya. 

Entah seperti apa rumah tangga yang sedang mereka jalani, yang jelas Calvin tak ingin merugi setelah mengorbankan perasaannya demi memenuhi keserakahan para orang tua. 

"Maaf." Sudah hampir lima kali  Calvin memukul setir mobilnya. Ia lajukan ke tempat dimana seseorang ingin menemuinya seperti yang  tadi dikabarkan oleh Zaki. Dan terpaksa meninggalkan acaranya sebentar.

"Langsung bawa Shena pulang, Bude. Jangan mampir ke mana-mana," ucap Calvin melalui earphone saat ponselnya sudah tersambung. Sewaktu ia menemui Shena di klinik, perempuan itu rupanya tertidur. Lantas ia pindahkan ke mobil miliknya yang lain dan meminta Pak Yadi mengantar sampai rumah. 

Kembali dihantui kebimbangan, Calvin terus menyangkal bisik yang sedari tadi mengusik. Bukan karena perasaan apa pun, ia menemui Clara hanya ingin melihat bagaimana keadaan perempuan itu sebagai sesama manusia yang memiliki rasa empati. 

"Iya, kenapa, Bude?" Memasuki area parkir rumah sakit, Calvin menyahut panggilan dari Bude Mirna.

"Mbak Shena minta dibelikan baju sepak bola, Pak."

Sebelum turun, Calvin mengecek ponselnya. Jika Shena menginginkan sesuatu, mengapa tidak bilang langsung padanya. Bahkan tidak ada notif pesan dari perempuan itu. 

"Iya, nanti saya belikan. Dia sudah bangun? Di mana ponselnya? " Mendapat pertanyaan tersebut, Bude Mirna lantas menoleh pada Shena yang tengah menyandarkan kepala pada jendela mobil setelah menyampaikan keinginannya tadi. 

Kebingungan menjawab karena Bude Mirna tahu ponsel itu ada digenggaman Shena, akhirnya ia memutuskan untuk memberikan ponsel miliknya pada sang majikan. Namun, ditampik dengan wajah masam oleh perempuan itu.

"Males!" lirih Shena kemudian. Takut malah semakin membuat mood ibu hamil itu berantakan, Bude Mirna menjawab kembali panggilan dari Calvin.

"Bude? Halo?"

"Iya, Bapak. Ponselnya di tas." Percakapan berakhir setelah Calvin memutuskan panggilan. Ia pastikan jika Shena pasti kesal dengan dirinya hari ini. Sementara bayangan tentang bagaimana kondisi Clara seperti ingin terus berada di posisi pertama dalam pikirannya. 

"Ra?" 

Perempuan yang dulu terlihat segar, tegas, dan berkharisma itu kini menatap tak percaya pada Calvin. Rambutnya yang dulu panjang, ia pangkas sampai sebahu. Mendapati Calvin yang meletakkan buah tangan di meja, Clara memilih menjadikan taman di luar jendela sebagai objek pandangannya.

"Sudah berapa kali aku bilang. Jangan ke sini lagi, Vin!" Meskipun terdengar lemah, nada tegas dalam pengucapan itu masih bisa Calvin rasakan. 

From Enemy to be PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang