2. Terang-terangan

578 48 1
                                    

Diaz baru saja memasuki apartemennya saat sebuah panggilan masuk menahan pergerakannya yang hendak melepas sepatu.

"Ya, Pa?"

"Kamu ... sehat?" tanya Papanya di seberang sana. Seketika membuat Diaz mengerutkan kening. Tak biasanya Papamya berbasa-basi seperti ini.

"Sehat. Kenapa?"

"Udah lama kamu gak pulang ke rumah. Gak kangen sama Papa?"

Diaz menghembuskan napas berat. Memang sudah lebih dari tiga bulan ia tidak pulang ke rumahnya. Dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa baru, Diaz selalu menyempatkan diri untuk pulang setidaknya dua minggu sekali. Tapi tidak setelah Papanya memutuskan untuk menikah lagi dan membawa serta istri baru serta anak angkatnya ke rumah itu. Diaz sudah cukup membenci rumah itu sejak Mama kandungnya masih ada di sana. Dan sekarang rumah itu semakin terasa asing baginya. Meskipun ia tidak membenci ibu dan adik angkatnya, rasanya tetap semakin tidak nyaman berada di sana.

"Bulan ini pulang ya? Ada yang ingin Papa bahas soal hotel."

"Hm, Diaz usahakan."

"Sudah waktunya kamu berhenti main-main dengan perempuan-perempuan tidak jelas itu, Yaz."

"Dan sudah waktunya juga buat Papa berhenti memata-matai aku," balas Diaz jengah. "Aku udah dewasa, Pa. Mau aku pacaran dengan siapapun itu urusanku."

"Papa hanya gak ingin kamu menyesal di kemudian hari. Gonta-ganti teman tidur itu gak sehat, Yaz."

Kayak dulu Papa gak pernah saja, cibir Diaz dalam hati.

Diaz mengurut keningnya jengah. Sepertinya ia keliru karena beberapa kali membawa teman kencannya menginap di hotel milik Papanya.

"Okay okay... minggu ini juga Diaz pulang. Udah ya, Pa. Diaz capek. Baru sampai apartemen." Tanpa menunggu balasan dari Papanya, Diaz langsung memutus panggilan secara sepihak.

Ia ingin sekali memejamkan mata. Tapi ia tidak bisa. Tidak tanpa seseorangpun menemaninya di atas ranjang. Terlebih seseorang terus mengusik pikirannya tanpa dapat ia cegah beberapa hari terakhir.

Ishana Naladhipa. Bisa-bisanya gadis itu menolaknya. Menerjunkan ego Diaz hingga ke dasar. Semula, Diaz kira gadis itu hanya bermain tarik ulur saja dengannya. Sok-sokan tidak menanggapi semua hadiah pemberiannya padahal berharap Diaz mendekatinya secara langsung. Sayangnya Diaz tidak pernah mau bersusah payah seperti itu hanya untuk mendapatkan gadis yang akan menjadi hiburannya selama beberapa hari saja.

Tapi, rupanya Diaz keliru. Gadis itu benar-benar tidak tertarik padanya. Baru kali ini ia melihat ketidaksukaan yang tersembunyi di mata seorang gadis padanya. Mantannya yang tak terhitung jumlahnya saja tidak pernah menatapnya sebagaimana cara Ishana menatapnya ketika mereka diputuskan olehnya. Gadis itu menatap Diaz seolah ia adalah makhluk hina yang patut dihindari. Sial.

Dan lagi, dua kali mendapati Ishana lebih menaruh respect pada Bima, sahabatnya, membuat ego Diaz semakin tertonjok. Meskipun ia dan kedua sahabatnya terkenal dan aktif di berbagai UKM kampus, sejauh ini tidak pernah ada yang membandingkan-bandingkan mereka. Setidaknya itu yang Diaz tangkap selama ini. Mereka punya pesona tersendiri untuk dikagumi. Tentunya terlepas dari band bersama yang mereka miliki. Elang digilai gadis-gadis karena humoris, bermulut manis dan lebih mudah bergaul dibandingkan dengan dirinya dan Bima.

Sementara Elang mudah dekat dengan semua orang, berbanding terbalik dengan Bima. Sahabatnya yang satu itu nyaris tak tersentuh. Pendiam, dan lebih suka mengamati daripada ikut terlibat. Diaz bahkan cukup terkejut kali ini Bima bersedia menjadi lawan taruhannya. Bima tidak pernah mau membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak pasti. Ia tidak akan bertaruh untuk sesuatu yang jelas tak akan ia menangkan.

Satu Alasan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang