23. Dia Yang Mengawasi Dari Kejauhan

305 29 13
                                    

"Udah stop, Kak."

Dengan gemas Ishana mendorong bahu Diaz yang duduk di sampingnya. Sudah hampir sejam lamanya cowok itu mengusik konsentrasi membacanya hanya dengan tatapannya yang intens.

"Kalau mau baca ya baca aja. Emang aku berisik dari tadi?" Diaz kembali ke posisi semula menopang kepalanya dengan lengan di atas punggung sofa. Bersikap layaknya AƁG kasmaran yang tak bisa berpaling dari gadis yang disukainya.

Sementara itu, Ishana berdecak sebal dan memutuskan untuk menaruh buku yang dibacanya.

"Gimana bisa konsentrasi kalau Kak Diaz lihatin aku terus," gerutunya kemudian mengambil ponsel di atas meja sofa sebagai pengalihan.

"Seumur-umur aku gak pernah ditatap segitunya sama cowok. Jadi jangan tatap aku dengan berlebihan seperti itu. Aku malu tahu," gerutunya dengan pipi memanas.

Diaz mendengus geli dan bergeser mendekat. Namun langsung ditahan oleh kaki Ishana yang sengaja gadis itu angkat bersila di atas sofa. Ia mulai merasa bahaya jika terlalu dekat dengan Diaz.

"Kalau begitu, artinya kamu gak peka selama ini," komentar Diaz.

"Maksudnya?"

"Aku bukan cowok pertama yang pandangi kamu seperti ini. Kamu terlalu cuek untuk menyadari kalau di fakultasmu aja banyak cowok yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan lewat tatapannya tiap kamu tampil."

"Masa sih?"

Diaz mengangguk mengiyakan. Tangan kanannya yang bebas terangkat untuk menyelipkan sejumput rambut gadis itu ke belakang telinga.

Sementara Diaz mengusap sisi kepalanya, Ishana menunduk untuk menutupi wajahnya yang tersipu.

"Tetap aja waktu Kak Diaz jadikan aku taruhan, menurut Kak Diaz aku masih kalah cantik dibandingkan mantan-mantan Kakak kan?"

Dehaman salah tingkah Diaz seolah membenarkan perkataannya. Membuat gadis itu mendengus samar.

"Tapi waktu itu di mataku Kak Diaz biasa aja kok. Masih gantengan Kak Bima kemana-mana."

"Masa sih? Berdasarkan survei terpercaya, cewek-cewek di kampus bilang aku lebih ganteng daripada Bima."

"Narsis," cibir Ishana yang langsung dihadiahi usapan kepala oleh Diaz.

"Tapi tetep jadiannya sama aku kan?" Goda Diaz kemudian. Kali ini Ishana yang berdeham salah tingkah.

Merasa kalah, gadis itu memutuskan untuk duduk membelakangi Diaz seraya mengambil kembali buku tadi. Membaca dengan wajah ditekuk.

Diaz tidak tahu kalau Ishana bisa semenggemaskan ini saat kesal. Dengan cepat ia bergeser merapat dan memeluk leher gadis itu dari belakang. Mengejutkan gadisnya hingga membeku di tempat.

"Kak?" panggil Ishana gugup. Diaz hanya bergumam menanggapi. Hidung cowok itu sibuk mencium aroma rambut Ishana dan sesekali mencium di sana.

"Apa ini gak terlalu dekat?" gumam gadis itu memegangi kedua lengan kokoh Diaz yang memeluknya.

"Siapa suruh gemesin banget kalau ngambek. Aku kan jadi gak tahan ingin peluk."

"Aku gak ngambek," bantah Ishana ketus.

"Kalau gak ngambek, kenapa ketus gitu?" Diaz menopang dagunya di atas bahu Ishana seraya mengeratkan pelukan.

"A-aku gak ketus," cicit Ishana. Ia mengkerut dalam pelukan Diaz.

Keduanya terdiam untuk beberapa menit ke depan. Hingga Diaz merasa Ishana tidak sekaku sebelumnya, barulah ia melonggarkan pelukannya. Menarik bahu gadis di depannya hingga keduanya bersandar pada sandaran sofa tanpa melepas rangkulannya.

Satu Alasan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang