10. Berhenti Menyangkal

438 45 1
                                    

"Lo hutang cerita sama gue."

Ishana hanya bisa meringis saat mendapati Feby sudah menduduki kursinya begitu ia masuk kelas.

"Lo udah sembuh, Feb?" Ishana berusaha berbasa-basi. Dua minggu lebih sahabatnya itu memang izin tidak ke kampus karena terjangkit hepatitis. Hanya beberapa hari sebelum acara dies natalis jurusan Tari.

"Maaf ya, gue gak sempat jenguk lo. Habis Solo jauh sih. Gue juga ... harus kerja."

Feby menghela napas. "Cuma hepatitis A ini. Gue ngerti kok situasi lo. Tapi ..." Feby memberi jeda hanya untuk kembali memberi raut serius pada sahabatnya. "Lo gak bisa lolos dari cerita sama gue. Lo gak tahu kan gimana kagetnya gue pas lihat video super romantis lo dan si Casanova Fakultas Ekonomi itu? Gilaaa... bahkan banyak anak kelas yang nanyain sejak kapan lo dan Kak Diaz gak kejar-kejaran lagi. Tahu-tahu langsung terima aja pas dia nembak di depan umum."

Ishana mengambil duduk di samping sahabatnya. "Selesai kelas ini, lo antar gue dulu ngasih bekal makan ke Kak Diaz. Habis itu kita ngobrol di luar kampus. Gue punya cerita panjang buat lo."

****

Feby benar-benar mengantar Ishana ke ruang latihan Nomos Band. Bahkan bertemu dengan seluruh personel band lengkap yang kebetulan sedang ada di ruangan itu. Gadis itu bahkan nyaris menganga melihat bagaimana Diaz dengan manisnya minta ditemani makan. Feby bukanlah pengamat ketiga cowok paling famous di kampus itu. Justru ia cenderung menghindari. Tapi, beberapa kali melihat Diaz dengan mantan-mantannya, baru kali ini Feby melihat seolah Diaz yang bersikap manja dan ingin diperhatikan. Padahal biasanya ceweknya lah yang menempel ke sana kemari dan ingin dimanjakan oleh Diaz.

"Hari ini gak bisa. Maaf ya."

Dan penolakan datar Ishana sukses membuat dua cowok lainnya menahan senyum geli. Sepertinya hanya Feby seorang di ruangan itu yang nampak tak tahu apa-apa. Pemandangan di hadapannya membuatnya makin gatal untuk menagih cerita.

Sial, gara-gara hepatitis sialan gue sampai ketinggalan info sejauh ini!

"Kenapa gak bisa temani aku makan?" protes Diaz.

Lagi-lagi Feby dibuat melongo saat Ishana tersenyum manis seraya menyenggol bahunya dari samping. "Aku mau keluar sama Feby. Urusan cewek. Boleh kan?"

What?! Aku?! Sejak kapan Ishana bisa bicara aku-kamu sama cowok?!

Diaz melirik Feby dengan kening berkerut. Sedikit nampak tak suka karena telah mengacaukan jam makan siang romantisnya dengan sang pacar. Alhasil gadis dengan rambut dikucir satu itu hanya bisa tersenyum kaku.

"Cuma kalian berdua aja kan? Gak ada cowoknya,"

Ishana dan Feby mengangguk.

"Oke. Kalau ada apa-apa telpon aku." Diaz mengizinkan meskipun nampaknya tak rela.

****

"Gue gak punya pilihan lain, Feb. Gila emang. Cuma dia satu-satunya harapan gue saat ini." Ishana mengakhiri ceritanya dengan bahu lunglai. "Sekarang ini gue fix dicap sebagai cewek paling munafik seantero kampus. Tapi gak apa. Yang terpenting Kevin dan Gio bisa diobati dengan layak."

Feby nyaris tak bersuara selama Ishana bercerita. Hanya bisa sesekali menyesap minumannya dalam diam. Ia merasa prihatin. Tapi juga gemas di saat bersamaan.

"Kenapa lo gak cerita sama gue sih, Naaa."

"Lo lagi sakit. Gue gak mau jadi beban pikiran sahabat gue sendiri."

Feby menghela napas. Mulai sadar bahwa dirinya pun mungkin tidak akan mampu membantu Ishana sebagaimana Diaz membantu gadis itu. Ia bukan lahir dari keluarga yang bisa mengeluarkan uang sebanyak 20 juta dalam hitungan menit seperti Diaz.

Satu Alasan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang