5. Harapan di Ujung Tanduk

492 43 0
                                    

Ishana memanfaatkan satu hari izin sakitnya semaksimal mungkin. Tidur lebih lama dari biasanya, makan dengan santai tanpa diburu waktu, berselancar di dunia maya beberapa jam, bahkan tidur siang sepuasnya.

Sebenarnya semalam, tanpa Diaz menggendongnya lagi pun, Ishana dapat berjalan sendiri meskipun agak tertatih. Setelah pinggulnya diperiksa dan dipijat oleh dokter, rasa sakitnya jauh berkurang dari sebelumnya. Ishana yakin, setelah seharian ini ia beristirahat dan memanjakan diri, besok pasti ia bisa kembali berlatih menari untuk tampil di acara dies natalis minggu ini.

"Ternyata begini rasanya jadi pengangguran ... ahh ... enaknya," erang Ishana senang.

Ternyata bisa tidur selama tujuh jam plus dua jam tidur siang rasanya seenak ini. Bukannya tidur sekitar dua sampai tiga jam saja sepulang dari club seperti biasanya.

Rasanya baru kali ini Ishana memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Sejak lulus SMA dan mendapat beasiswa di Universitas Cakrabuana, Ishana memutuskan keluar dari panti asuhan untuk meringankan beban panti yang semakin memberat karena terus kedatangan anak baru. Kemudian, berbekalkan sedikit uang dari pihak panti, Ishana memulai hidup mandirinya dengan susah payah. Setiap menit dalam hidupnya amatlah berarti untuk mencari uang. Kalau di siang hari ia tidak bisa bekerja karena kuliah, maka Ishana akan mencari pekerjaan paruh waktu di sore dan malam hari.

Mulai dari waitress restoran, cleaning servis, guru privat, bahkan joki tugas sudah pernah dilakoninya demi membiayai hidup dan membeli si Jac, motor second murah yang langsung membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama.

Bisa dibilang, Ishana jarang sekali bisa tidur hingga siang seperti hari ini. Bahkan di hari minggu sekalipun, selalu ada saja yang harus dikerjakannya untuk menyambung hidup. Maka dari itu, anehkah jika Ishana mensyukuri cederanya kemarin?

Kini, sembari tidur tengkurap di atas kasur tanpa dipan, Ishana tengah menonton film korea yang sudah sejak lama Feby rekomendasikan padanya. Ia tidak ada kesempatan untuk menontonnya di saat jam tidurnya saja berantakan sejak bekerja di club malam.

Ishana menikmati film bergenre romantis komedi itu hingga ada satu scene yang membuatnya tiba-tiba merona. Scene di mana ketika tokoh utama pria dalam film itu menggendong si tokoh utama wanita yang tengah pingsan karena penyakitnya.

Tanpa dapat dicegah, ingatan Ishana terlempar begitu saja pada kejadian kemarin malam. Mulai dari saat Diaz memarahi Sherly, menggendong Ishana keluar gedung Fakultas Seni, tiba-tiba membelikannya ice cream, sampai menggendongnya lagi begitu selesai di periksa.

Ishana tidak bodoh. Ia tahu Sherly sengaja membuatnya celaka. Entah itu hanya pikiran buruknya saja. Tapi sejak Ishana sering mendapat hadiah di loker, Sherly yang semula tidak pernah bersinggungan dengannya tiba-tiba sering menatapnya sinis. Dan satu minggu terakhir saat seluruh mahasiswa tahu Diaz tengah mengejarnya, Sherly nampak yang paling tidak rela. Bukan rahasia lagi sebenarnya kalau gadis itu begitu menggilai Diaz, Elang dan Bima.

Meskipun merasa tidak adil karena dibenci oleh perkara sepele, Ishana berusaha memakluminya. Mungkin bagi Sherly sendiri itu satu-satunya cara untuk membuat gejolak di dadanya mereda.

Ishana hanya tidak menyangka kalau Diaz akan sampai membentak untuk membelanya. Bahkan sampai menggendongnya. Belum lagi membayar biaya klinik ... eh!

Tunggu dulu! Jangan-jangan yang semalam juga merupakan bentuk kompensasi untuk Ishana? Diaz marah dan membiayainya karena cowok itu tahu kalau Ishana lagi-lagi terkena sial karena ulah penggemarnya?

"Bego!" Ishana memukul kepalanya sendiri karena hampir saja melayang oleh sikap manis Diaz. Rona di wajah Ishana langsung lenyap dalam sekejap.

"Tapi ice cream?" gumamnya kemudian.

Satu Alasan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang