"Karena aku ingin kamu berhenti terlalu berhati-hati."
Ishana membalik posisi tidurnya untuk yang ke sekian kala kalimat Diaz tadi kembali mengusir kantuknya.
Ia tidak ingat jelas bagaimana ceritanya bisa sampai di dalam kamar ini setelah ciuman itu berakhir. Bagaimana ia bisa menghadapi Diaz tadi?
Ah benar juga. Begitu bibir keduanya terlepas, Ishana terlalu malu untuk membuka matanya. Jadi, ia langsung berdiri dan berlari ke dalam rumah. Meninggalkan Diaz di belakang dengan sisa-sisa keresek berisi sosis yang seharusnya dibawa masuk bersama.
Kini Ishana mengipasi wajahnya yang mendadak terasa panas. Ingatan bagaimana Diaz memajukan wajahnya, dan bagaimana cowok itu memainkan bibirnya masih teringat jelas dalam benak Ishana. Ia bahkan seolah masih dapat merasakan bagaimana rasa bibir Diaz di atas bibirnya. Ini gila!
Bagaimana cara untuk menghapusnya? Haruskah ia minum sebanyak mungkin?
Dengan langkah lebar, Ishana berjalan membuka pintu kamar yang ditempatinya bersama beberapa anak panti, lalu berjalan menuju dapur.
Ia membuka pintu kulkas lebar-lebar dan mendekatkan wajahnya ke sana sementara sebelah tangannya meraih botol air dingin dan meminumnya rakus.
Begitu tidak merasa kepanasan lagi, Ishana menjauhkan wajahnya dan menutup pintu kulkas. Namun, detik itu juga ia membekap mulutnya terkejut saat mendapati Diaz sudah berdiri di samping kulkas dengan mug di tangan.
"K-kak Diaz ngapain di sini?" tanya gadis itu pelan.
Diaz tersenyum tipis. "Gak bisa tidur." Ia mengangkat botol kecil obat tidurnya dan melewati Ishana menuju dispenser.
"Kamu sendiri ngapain masukin muka ke kulkas gitu? Gak dingin?"
Ishana berdeham canggung. Alih-alih menjawab, ia merebut obat tidur dari tangan Diaz. Cowok itu menautkan alisnya.
"Jangan minum obat tidur terus kalau ingin sembuh. Kita udah jalan 3 minggu tidur bareng. Jangan sia-siakan usahaku, okay?" ujar gadis itu seraya memasukkan botol obat Diaz ke dalam saku roknya.
"Kita bisa mulai terapi ala Ishana mulai sekarang," ucap gadis itu seraya menggandeng Diaz menuju ruang tengah.
Diaz hanya menurut saja saat Ishana meninggalkannya sebentar untuk membawa matras, bantal dan selimut.
"Kak Diaz gak keberatan kan kalau malam ini tidur di atas matras? Ini lebih mudah dibereskan besok pagi."
Diaz tidak mempermasalahkan itu. Ia ikut membantu Ishana menggelar matras di atas karpet.
"Setelah ini apa?"
"Mulai sekarang, aku akan temani Kak Diaz hanya sampai Kak Diaz tidur aja," jawab Ishana.
"Aku gak akan bisa tenang kalau phobia Kakak gak hilang-hilang setelah utangku lunas" gumam gadis itu begitu Diaz merebahkan diri di atas matras, sementara ia menyelimuti cowok itu.
Sontak saja Diaz menautkan alisnya tak suka. Ia tidak setuju dengan metode itu. "Terus, kamu akan pergi setelah aku tidur, begitu?"
Ishana nampak berpikir beberapa saat. "Kita lakukan aja secara perlahan. Pertama-tama, aku akan temani Kak Diaz sambil berpegangan tangan seperti biasanya. Lalu, setelah terbiasa, aku akan pindah ke kamar sebelah di apartemen Kakak. Lambat laun Kak Diaz pasti akan terbiasa."
"Aku gak suka metode kamu."
Ishana menghela napasnya. Ia tahu harus bersabar jika mendapat respon tak sesuai harapan dari Diaz. Cowok itu keras kepala. Dan Ishana harus bisa mengimbanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan Untukmu
ChickLitDi mata semua orang, Ishana Naladipha adalah cewek cantik, cerdas, aktif dan mandiri. Tidak heran jika secara tidak resmi ia dipredikati sebagai salah satu mahasiswi tercantik di Fakultas Seni oleh para mahasiswa. Tidak akan ada yang lolos dari peso...