35. Rencana Ishana

300 24 1
                                    

Diaz melirik arlojinya untuk yang ke sekian kali. Namun Ishana tak kunjung muncul. Padahal gadis itu yang membuat janji dan bahkan memesankan meja untuk mereka berdua malan ini. Khawatir terjadi sesuatu padanya, Diaz pun menelepon gadis itu.

"Na?"

"Y-ya, Kak?"

"Kamu masih di mana? Di jalan aman kan? Kamu gak kenapa-napa kan?"

"Aku ... masih di jalan, Kak. Sebentar lagi sampai."

Apa dia naik taxi? Pikir Diaz. Pasalnya ia tidak mendengar suara bising kendaraan lain dari seberang sana.

Diaz menghela napas lega. "Syukurlah kalau gak ada apa-apa di jalan. Lagian tumben banget kita jalan terpisah gini. Aku gak terbiasa. Ya udah, aku tunggu ya."

Ishana bergumam pelan di seberang sana. "Kak?"

"Hm?"

"Aku ... cuma mau bilang ... maaf."

Diaz tersenyum tipis dengan gelengan samar. Untuk apa Ishana meminta maaf? Ini hanya masalah sepele.

"Untuk apa kamu minta maaf? Gak masalah kok ..."

Bertepatan dengan itu, seseorang muncul di hadapan Diaz. Duduk di seberang Diaz, menempati kursi yang seharusnya Ishana duduki. Senyum Diaz langsung lenyap seutuhnya hanya dengan kehadiran wanita itu.

"Maaf karena aku berbohong," lanjut Ishana yang seketika membuat Diaz mencengkram ponselnya kuat-kuat di samping telinga.

"Apa maksud semua ini, Na? Kenapa bisa dia ada di sini?" tanya Diaz pelan namun terkesan dingin. Ishana bahkan hingga takut untuk menjawab.

"Aku ...i- ini semua demi Kak Diaz. Aku mohon Kakak jangan marah sama aku," pinta Ishana dengan nada gentar. Ia tahu Diaz akan marah besar padanya karena telah berani-beraninya menjebak cowok itu untuk bertemu dengan Mama kandungnya. Tapi ini adalah satu-satunya usaha yang terpikirkan oleh Ishana agar Diaz bisa terlepas dari trauma masa lalunya.

"Begitu Kak Diaz selesai bicara dengan Mama Kakak, aku akan ada di sana. Aku terima kalau Kak Diaz mau marah sehebat apa pun. Tapi jangan kabur sekarang. Berhenti menghindar dan hadapi Mama Kakak, oke? Aku-" Diaz memutus sambungan sebelum Ishana menuntaskan kalimatnya.

"Apa perlu Mama memperalat Ishana hanya untuk bicara ?" tuduh Diaz langsung pada Mamanya.

Kenanga menghela napas mendengar tuduhan putra semata wayangnya. Dulu, ia sudah menyerah untuk membujuk Diaz bicara dengannya. Namun, kini saat ada seseorang yang tulus peduli pada putranya, bahkan mau membantu Kenanga untuk bertemu, mengapa harus disia-siakan? Ada banyak hal yang ingin Kenanga sampaikan pada putranya.

"Kali ini bukan Mama, Yaz. Memang gadis itu yang ingin kita bertemu."

Diaz enggan menanggapi dan melipat tangannya di depan dada. Ia hanya butuh mendengarkan Mamanya beberapa menit lalu pergi. Tidak ada alasan baginya berlama-lama di sini.

"Kamu ... sehat?"

Diaz nyaris berdecak mendengar kalimat basa-basi itu.

"Aku sehat. Papa yang sakit," jawabnya ketus. "Apa bisa kita langsung ke inti pembicaraan? Aku harus cepat-cepat menemui Ishana dan minta penjelasan dia."

"Jangan salahkan dia," pinta Kenanga cepat. "Dia hanya ingin membantu kamu."

Diaz mendengus sinis. "Sejak kapan Mama peduli? Aku tahu dia peduli sama aku. Tapi gak begini caranya."

Diaz merasa pertemuan ini tidak akan menghasilkan apa pun selain memicu kemarahannya. Jadi, ia memutuskan untuk berdiri dari duduknya dan meraih kunci mobil di atas meja. Ia harus secepatnya pergi dari sini sebelum hilang kendali membalik meja makan di hadapannya.

Satu Alasan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang