28. Tak Lagi Sama

307 26 2
                                    

Ishana harus mengakui bahwa pertahanannya cukup kuat. Ia dapat tetap mengangkat kepalanya meskipun Diaz meninggalkannya. Bahkan ketika ia berpapasan dengan cowok itu untuk terakhir kalinya di lobi apartemen, Ishana masih mampu menyunggingkan senyum tipis.

Namun, seluruh pertahanan itu runtuh saat ia sampai di kamar kosannya yang kecil dan dingin. Di tempat yang tak sehangat dulu itu, ia menumpahkan tangisnya untuk waktu yang lama.

Merasa tak sanggup untuk tetap sendirian hari ini, Ishana menelepon Feby ketika tangisnya telah reda.

"Halo, Feb?"

"Iya, Na? Lo kenapa, Na? Suara lo aneh banget."

"Lo bisa datang ke kosan gue gak, Feb? Gue butuh temen sekarang."

"Gue otewe. Tunggu setengah jam-an lagi Gue sampai."

Setengah jam kemudian, Feby benar-benar muncul di teras kosan Ishana. Tidak hanya dengan tangan kosong. Sementara di sebelah tangan kanannya menjinjing keresek besar entah apa isinya, tangan kirinya menjinjing kompor portable.

"Feb, lo mau piknik di kamar gue atau gimana sih?" tanya Ishana dengan suara sangau. Hidungnya bahkan masih terlihat merah bekas menangis.

Feby berdecak tak sabar dan berjalan melewati Ishana yang langsung memberi jalan.

"Mau lo suntuk, sakit gara-gara bokek, bahkan sakit hati sekali pun, makanan adalah obatnya," ujar cewek itu. "Ayo buruan ah. Berat nih gue bawa-bawa kompor dari kosan."

Buru-buru Ishana membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan Feby masuk.

Keduanya kemudian memotong-motong sosis dan membuka berbagai kemasan frozen food dalam diam selagi memanaskan kuah tomyum.

Feby melirik sahabatnya. Kedua mata Ishana nampak bengkak. Pasti cewek itu sudah menangis lama.

"Kenapa? Lo sama Kak Diaz putus?" tebak Feby. Ishana mengangguk.

"Alasannya?"

"Dia bilang, dia bosan sama gue."

Feby menghela napas kemudian berdecak sebal. "Emang bajingan tuh orang. Sebelas dua belas sama sobatnya si Elang sinting," dumelnya.

Ishana mengangguki. "Mungkin sejak awal gue yang salah. Kalau aja gue gak minta bantuan ke dia, semuanya gak akan seperti ini. Gue gak akan terikat dan suka sama dia."

"Lo nyesel pacaran sama dia?"

Ishana terdiam untuk berpikir.

"Beneran nyesel?" kejar Feby.

Ishana menghembuskan napasnya gusar. "Untuk beberapa waktu gue kenal sama dia, kemana-mana sama dia, bahkan berbagi rahasia kami satu sama lain... Gue cukup yakin dia tulus. Tapi ... setelah apa yang dia bilang tadi pagi, gue rasa apa yang kita rasakan cuma rasa nyaman aja. Gak ada cinta di sana. Sepertinya cuma gue seorang yang cinta sama dia. Gue ... gak seharusnya sayang sama dia. Gue merasa bego banget. Salah gue apa ya, Feb? Kok bisa sih kisah cinta pertama gue sesakit ini?"

Ishana kembali menangis, dan Feby hanya bisa merangkul sahabatnya itu seraya berpikir keras.

"Na, lo tahu gak apa hal paling benar yang harus lo lakukan sekarang?"

"Apa?"

"Makan. Makan yang banyak setelah energi lo terkuras habis untuk nangisin si Diaz kampret itu. Setelah itu, baru gue kasih tahu langkah berikutnya." Ishana hanya mendengarkan seraya membersit hidungnya yang beringus.

"Memang gak akan mengurangi rasa sakitnya. Tapi setidaknya lo gak akan terlihat menyedihkan, bahkan di mata lo sendiri. Lo harus kuat, Na. Cowok di dunia ini kan bukan cuma Kak Diaz aja."

Satu Alasan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang