Kita dengan Kisahnya

216 47 73
                                    


"Memang benar bahwa melupakan tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, menangisi sesuatu yang sudah pergi takkan bisa membuatnya kembali."

Nursiyah Abimanyu

🥀🥀🥀

"Kak Firman! Awas, kalau udah punya calon, jangan lupa beritahu Lena, 'ya! Bawa dia ke hadapanku, kenalin aku."

Tangan kanannya meraih batu nisan bertuliskan nama adiknya. Mimpi semalam mengingatkannya pada Alena yang jarang dikunjungi. Pagi sebelum berangkat ke rumah sakit, ia memutuskan untuk ke rumah Alena. Sakit itu semakin terasa kala melihat pusara di hadapannya, sesak menjalar di dadanya tatkala mengingat tragedi yang mengerikan itu.

"Apa kau tahu? Seseorang telah hadir di dalam hidup kakak, wajahnya hampir mirip sepertimu. Bukannya kamu waktu itu bilang ingin kakak ipar seperti itu, Len?" Ia tersenyum sendu, seraya membelai pelan batu nisan adiknya.

Sebagai kakak, Firman merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik untuk adiknya karena tak mampu melindungi Alena, terlebih meninggal dalam keadaan tidak wajar. Selama ini ia hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah terus-menerus, itulah sebabnya ia tak mampu menghapus dukanya sendiri.

Meskipun mereka sering terlibat adu mulut, tetapi mereka saling menyayangi satu sama lainnya.

Sebelum pria itu pergi, ia tak lupa melafalkan doa serta menaruh buket bunga matahari di atas pusara Alena. Bunga yang menjadi favorit Alena, adik kesayangannya.

***

"Matamu sembab banget, Dek, semalem nggak tidur, 'ya?" Tanya Andra yang melihat Nisa tengah mempersiapkan makan siang di dapur. Ya, semalaman ia tak bisa tidur lantaran ucapan Firman menghantui pikirannya.

Gadis dengan kerudung instan berwarna merah itu mengangguk. "Iya, Kak, abis ngerjain skripsi biar cepet kelar." Ucapnya sembari sibuk mengiris cabai tanpa menoleh kepada lawan bicaranya.

"Cepet si cepet, tapi jangan lupain kesehatan, Bu Guru ... kakak nggak mau kena marah ibu sama ayah ngga bisa jagain kamu. " Andra meraih sendok, lalu mencicipi capcay yang telah tersaji di atas meja. "Cukup Gunung Ungaran aja yang membuatku hampir kehilangan mutiara berharga kesayanganku."

Ucapan Andra kali ini mampu mengagetkan Nisa sehingga jari tunjuknya terkena goresan pisau.

"Nisa!" Dengan sigap, Andra segera berlari dan menyambar kotak P3K yang ada di kamarnya dan langsung mengobati jari Nisa yang terluka. "Kamu kenapa si, Dek? Masak jangan sambil ngelamun, mana pisaunya baru kakak asah kemaren."

Gadis itu sibuk memperhatikan sang kakak yang tengah membalut lukanya dengan plester. Sesaat pikirannya melayang jauh di sana. "Kak Andra ... maafkan Nisa yang keras kepala ini, maafkan ...."

Tidak semua luka ada obatnya.

"Kamu duduk aja biar kakak yang lanjutin masak, 'ya?"

Kini, mata mereka berada dalam satu pandangan. "Nggak papa, tah, Kak?"

"Iya nggak papa, lagipula tinggal ini doang mah gampang." Kakaknya meraih sebilah pisau, lalu melanjutkan aktivitas Nisa yang sempat terjeda selama beberapa saat.

"Terima kasih, Kak Diandra Ali Zauzaq yang ganteng Masya Allah ...." Puji Nisa sumringah.

"Dek, tolong ambilin hp kakak di kamar dong."

"Siap, Komandan!" Nisa memberikan hormat kepada Andra layaknya seorang tentara, lalu segera menuju ke kamar paling depan dari rumah ini. Tepat saat mengambil benda pipih di atas ranjang, sebuah pesan WhatsApp masuk dari benda tersebut sehingga membuat layarnya menyala.

Luka Yang Terobati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang