"Aku telah melakukan kesalahan besar di mana aku masih mempertanyakan cintamu sedangkan cinta yang telah diberikan olehmu benar-benar tulus dan datangnya dari lubuk hati paling dalam."
Khaerunnisa Indah Paramitha
🌹🌹🌹
Matanya terbuka, ia mendongak ke atas langit-langit yang berwarna putih. Dengan manik yang masih disesuaikan, samar-samar ia melihat ruangan di sekelilingnya. Bukan, ini bukan rumah sakit, melainkan kamarnya.
Tak lama, Bu Ani mendatanginya dan duduk di atas bibir ranjang, sembari netranya tak luput sama sekali pada anak bungsunya. "Kamu udah sadar, Nak? Ya Allah, Nisa, kalau belum kuat jangan dipaksain dulu."
"N--Nisa kenapa, Ibu?"
"Tadi kamu pingsan di kampus, Nak Firman dan temen-temennya bawa kamu ke sini," jelas Bu Ani. Nisa mengangguk pelan, baru ia mengingat insiden yang membuatnya tak sadarkan diri.
Seperkian detik, Nisa terdiam memikirkan sesuatu. "Ibu, itu tandanya Nisa harus segera menyelesaikan tugas Nisa secepatnya," lirih Nisa. "N--Nisa nggak bertahan lama ...."
"Kamu ngomong apa, Nak? Kamu nggak bakal kenapa-napa, dan tugasmu, ibu nggak nuntut harus selesai dalam waktu cepat, Nak ... kondisi badan kamu belum sepenuhnya pulih karena itu kamu harus banyak istirahat." Tangannya membelai lembut kening Nisa.
Gadis itu menggeleng lemah seraya tersenyum tipis. "Ibu, Nisa harus tepatin janji yang udah dibuat bertahun-tahun lamanya. Nisa harus selesai, nggak boleh cuma sampai tengah jalan, lagipula tinggal selangkah lagi,"
"T--tapi, Nak?"
Kini, kedua tangannya meraih tangan kiri Bu Ani lalu meletakkannya di atas dadanya. Dengan tatapan sendu, bibir pucatnya membentuk bulan sabit. Sorot matanya penuh arti menatap netra sang ibu. "Nisa janji akan bertahan, Ibu. Nisa kuat."
"Dek, kamu dari dulu nggak berubah, 'ya, keras kepalanya sama seperti Nisa yang dulu," cicit Bu Ani.
"Ibu, Firman janji akan selalu menemani Nisa dalam kondisi apapun. Ibu tidak perlu khawatir, Firman akan menjaga putrimu dengan baik." Ucap Firman yang datang bersama dengan Pak Rama.
"Nak Firman, Nisa nggak akan kenapa-napa, 'kan? Dia nggak bakalan kemana-mana,"
Firman tersenyum menatap wanita paruh baya itu. "Iya, Ibu, insya Allah Nisa baik-baik saja,"
"Mas Firman?"
"Iya, Nisa? Kenapa?"
"N--Nisa boleh bertanya tentang Alena?"
Alisnya tersentak bersamaan, terkejut dengan pertanyaan yang dilemparkan Nisa secara tiba-tiba.
"Alena siapa, Nak?" Tanya Pak Rama yang turut penasaran.
"Mantan kamu, Nak?" Celetuk Bu Ani.
Firman menggeleng cepat. "Bukan, Bu, Alena bukan mantan saya." Ia menghela napas berat. "Alena adalah adik saya, sama seperti Mas Andra saya juga mempunyai seorang adik perempuan dan kebetulan mempunyai kemiripan dengan Nisa," jelas Firman.
"Lalu? Kemana adikmu, Man? Kok pas itu nggak diajak, 'ya?" Tanya Pak Rama, lagi.
"Dia sudah meninggal satu tahun yang lalu ...." Ungkapnya. Sontak, Pak Rama dan Bu Ani merasa sangat bersalah.
"Innalilahi wainnailaihi roji'uun, maafkan kami Nak, nggak seharusnya kita bertanya seperti itu," ucap Pak Rama.
"Tidak apa-apa, Pak, tidak ada salahnya untuk bertanya, ini salah saya seharusnya dari awal mengatakan semuanya," jelas pria itu, menatap ketiganya secara bergantian.
"M--Mas, apakah-"
Firman yang langsung mengetahui arah pembicaraan Nisa, karena itu ia memotongnya. "Saya mengerti, Nis. Pasti kamu berpikir bahwa saya memilihmu hanya karena mirip dengan Alena, 'kan?"
Nisa mengangguk. "Iya, Mas."
"Jujur, memang benar kamu mirip seperti Alena, tapi pemikiran Nisa tidaklah benar. Saya tidak akan menjadikanmu sebagai pelampiasan, dan saya memilihmu bukan semata-mata karena alasan itu," pria itu memegang dada sebelah kirinya, seraya tersenyum. "Hati, hati saya telah menemukan kuncinya."
Nisa terdiam, seakan lisannya terkunci rapat karena ucapan Firman.
"Nisa izinkan saya membuktikan cinta ini ketika kita resmi menjadi pasangan suami istri. Dan jika kamu perlu pembuktiannya sesegera mungkin, besok juga saya akan menikahimu."
"Adek nggak usah khawatir, kalau Pak Dokternya bandel nanti tak totok sama bapak," kekeh Pak Rama, mencairkan suasana yang sempat hening karena ketegangan yang tak sengaja tercipta.
Nisa mengangguk pelan. "Maafkan Nisa, 'ya, Mas, nggak seharusnya bertanya seperti itu."
"Tidak apa, Nis, wajar kok seorang perempuan bertanya seperti itu pada calon imamnya. Kapan-kapan, saya ajak ke makam Alena, 'ya, saya akan memperkenalkanmu padanya," ucap Firman.
"Iya, Mas."
Netranya membulat tatkala melihat sepasang suami istri tengah bersitegang seraya menyembunyikan separuh tubuhnya di balik dinding bercatkan putih, ia tak berani melerai keduanya.
"Ya Allah, belum pernah ngeliat mereka bertengkar, sekalinya ngeliat kok jadi takut, 'ya?"
Tak lama, ia menyambar benda pipih dari atas meja guna menghubungi seseorang untuk melaporkan kejadian ini.
"Ayah yakin Nisa cocok buat anak kita? Ayah mau anak kita terluka untuk yang kedua kalinya? Sadar nggak sih, kenapa Ayah nggak belajar dari masa lalu!" Seru Bu Siyah menatap tajam Pak Hendra, baru kali ini istrinya itu berani menatapnya dengan tatapan itu.
"Dengan kondisi Nisa seperti itu, apa iya dia bakal nyembuhin Firman? Nggak, 'kan! Nyembuhin dirinya aja nggak mampu, apalagi nyembuhin lukanya orang lain yang ada malah nambah beban."
"Cukup, Bunda!" Pak Hendra menunjukkan kelima jarinya dengan menaikkan nada bicaranya. "Ayah nggak terima jika Bunda bicara yang nggak-nggak tentang Nisa."
"Kenapa nggak terima? Yang bunda katakan itu benar. Bunda tau yang terbaik, dan Rena cocok untuk Firman, kenapa Ayah justru mendukung cewek yang penyakitan itu?"
"NURSIYAH!" Seru Pak Hendra, bersamaan dengan dadanya yang terasa amat nyeri sekarang hingga ia tak mampu menahan tubuhnya lagi.
"A--Ayah!" Bu Siyah yang terkejut langsung menghampiri suaminya. "Ayah, ayah kenapa?!"
Pak Hendra yang terus saja memegangi dadanya tak mengatakan apapun, selang beberapa saat kesadarannya mulai menghilang. Namun, sebelum itu ia melihat bayangan, bayangan sesosok perempuan yang cantik nan jelita tengah menatapnya dengan tatapan yang sendu.
"A--Alena." Ucapan terakhir yang keluar dari lisan Pak Hendra sebelum akhirnya beliau menutup matanya dengan sempurna.
"AYAH!" Firman yang baru saja datang dikejutkan dengan kedua orang tuanya, terlebih melihat ayahnya sudah tak sadarkan diri di pelukan ibunya.
"Ayah! Apa yang terjadi, Bunda?!"
"B--Bunda nggak tau, Man, tadi ayah memegangi dadanya," isak Bu Siyah, dengan tangisnya yang semakin pecah.
Mendengar penjelasan sang bunda, Firman segera melakukan CPR pada ayahnya.
"Mbak Sri! Tolong telepon ambulan sekarang!" Perintah Firman. Sontak, Sri yang sedari tadi memilih untuk bersembunyi kini bergabung dengan mereka. Dengan cepat ia berhasil menghubungi ambulan.
"Siap!"
Sementara itu Bu Siyah dengan diluputi rasa bersalahnya terus saja menatapi keduanya, terutama pada sang suami, karenanya Pak Hendra bisa seperti ini. Netranya memejam, tatkala mengingat perkataan suaminya.
"Ini semua karena gadis sialan itu, mengapa aku menyetujui lamaran ini?"
"Ayah harus bertahan, ayah ...." lirihnya.
Tak sampai sepuluh menit, ambulan pun datang dan segera melarikan Pak Hendra ke rumah sakit terdekat.
🌹🌹🌹
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak, 'yaa 🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang Terobati (END)
General Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] The Fragavidma dikejutkan dengan penemuan seorang pendaki yang tak sadarkan diri di lembah hantu, ternyata mempunyai wajah yang serupa seperti mendiang Alena. Namun, siapa sangka pertemuan itulah justru menjadi awal lembaran...