"Kau tidak akan pernah bisa menyembunyikan bangkai di balik topengmu. Setebal apapun topengmu, bangkai tetaplah bangkai, ia akan tercium pada waktunya jua."
✨✨✨
"K--Kak Andra ...." lirih seorang gadis dengan hijab instan nya itu, ia baru membuka matanya setelah terpejam selama dua hari lamanya terhitung sejak ia pingsan di atas sajadahnya. Ia belum sadar sepenuhnya, meskipun demikian kalimat yang pertama kali diucapkan adalah nama Andra. Ya, nama yang selalu Nisa sebut ketika tak sadarkan diri, bahkan Pak Hendra pun mendengarnya.
Sebegitu mendalam hingga kasih sayangnya dapat dirasakan di alam bawah sadarnya.
Kali ini, tangan kanannya mencoba meraih kepala Andra yang tersandar di brankar dan membelainya dengan lemah. Seperti biasa, kakaknya itu selalu ketiduran setelah membacakannya ayat suci Al-Quran.
"Kak Andra ...." Kali ini panggilannya berhasil membangunkan Andra.
"Nisa?! Nisa udah sadar?" Seru Andra bersemangat.
Nisa mengangguk pelan, bibir pucatnya tersenyum tipis. Namun, senyuman itu tak bertahan lama lantaran kini semua orang mengetahui apa yang sudah dideritanya selama ini.
"Kak Andra ... maafkan Nisa, maaf karena sudah menyembunyikan hal ini padamu," ucap Nisa dengan suara paraunya. "Nisa nggak mau kalian khawatir."
Pria itu menggeleng. "Sudah, Dek, jangan pikirkan itu dulu, 'ya? Jangan mikir apapun yang buat Nisa stress. Nisa ada yang sakit? Sebentar, 'ya, kakak panggilkan dokter dulu." Saat ingin beranjak dari tempatnya, tangan Andra dicegah oleh Nisa.
"N--nggak usah, Kak, Kak Andra di sini aja jangan tinggalin Nisa." Gadis itu menggeleng lemah.
Sementara di tempat lain, Pak Hendra yang baru saja pulang dari restoran kedapatan melihat putra sulungnya berada di ruang keluarga yang tengah sibuk dengan laptopnya. Dari raut wajahnya, Pak Hendra dapat menebak apa yang tengah dirasakannya sekarang.
"Sedang banyak pekerjaan, Man?" Tanyanya seraya duduk di samping Firman.
"Tidak, Ayah, Firman sedang membaca jurnal." Sahut Firman, melihat ayahnya sekilas lalu perhatiannya kembali tertuju pada layar di depannya.
"Barusan ayah dapat info bahwa Nisa sudah sadar, Man,"
Kali ini perkataan ayahnya mampu mengindahkan perhatiannya. "Benarkah, Ayah?! Alhamdulillah ...."
"Giliran Nisa aja langsung semangat," kekeh Pak Hendra, lalu melepas kacamatanya. Perkataan ayahnya hanya dijawab kekehan kecil oleh Firman.
"Ayah, bolehkah Firman bertanya?" Tanya Firman.
Pak Hendra tersenyum, "Boleh, silakan Nak,"
"Pada saat pertama kali Ayah melihat Bunda, apa yang Ayah rasakan?" Pertanyaan dari Firman membuat dirinya sedikit terkejut pasalnya tak ada angin ataupun hujan tiba-tiba anak sulungnya bertanya seperti itu.
"Bagaimana, 'ya? Ayah merasakan sesuatu yang aneh, jantung Ayah tuh selalu berdetak kencang jika melihat Bundamu. Sedikit info, Bundamu itu agak pendiam tapi wawasannya luas banget dan intinya beda dengan yang lainnya, itu yang membuat Ayah klepek-klepek ke Bunda," ujar Hendra lalu tertawa jika memikirkan masa lalunya itu, terlebih kisah percintaannya dengan Bu Siyah. Sejenak Firman terdiam, memikirkan sesuatu. Apa yang dikatakan oleh ayahnya, sama persis dengan apa yang ia rasakan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang Terobati (END)
General Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] The Fragavidma dikejutkan dengan penemuan seorang pendaki yang tak sadarkan diri di lembah hantu, ternyata mempunyai wajah yang serupa seperti mendiang Alena. Namun, siapa sangka pertemuan itulah justru menjadi awal lembaran...