Gunung Ungaran

372 66 83
                                    

"Dan, jika Surakarta memisahkan, maka Semarang adalah jawaban untuk mempersatukan kita kembali, hingga akhirnya Yogyakarta menjadi saksi bisu bersatunya kita dalam ikatan yang suci."

Firmansyah Fairuzi Abimanyu

🌹🌹🌹


Berbicara tentang gunung, pasti di setiap gunung mempunyai cerita dan meninggalkan kesan dan pesan bagi para pendakinya. Salah satunya  adalah Gunung Ungaran, gunung yang terletak di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu mempunyai ketinggian 2.050 meter di atas permukaan laut sehingga gunung ini cocok didaki bagi pendaki pemula.

Sore ini, empat sekawan sudah nampak bersiap-siap untuk memulai pendakiannya di Gunung Ungaran. Setelah melakukan pendaftaran kepada pengelola setempat barulah setelah itu mereka memulai pendakian. Jalur yang dipilih adalah jalur via Perantunan.

Bulan menggantikan posisi matahari di atas sana, ia bersinar dengan cerah malam ini. Tak hanya bulan, bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya  pun menghiasi angkasa. Sesekali Firman memandang ke atas langit, takjub akan pemandangan indah dari Gunung Ungaran. Sudah lama sekali ia tak menikmati momen seperti ini karena terakhir kali melakukan pendakian di Gunung Lawu, itupun tak seindah malam ini karena gerimis melanda sepanjang perjalanan.

Semenjak kemarin, Ungaran memang tengah sepi pengunjung, tak ada pendaki lain selain rombongannya dan satu rombongan lagi yang kemungkinan kini sudah berada di puncak menurut pengelola setempat tadi. Dan benar saja, terbukti di sepanjang trek The Fragavidma tak menjumpai satupun pendaki.

Sesampainya di pos Kolo Keciko, mereka memutuskan untuk beristirahat sebelum akhirnya melanjutkan pendakian ke puncak Banteng Raiders baru setelah itu ke puncak Botak dan terakhir, Bondolan.

“Tunggu!” Teriak Firman, seketika mereka menghentikan langkahnya bersamaan dengan semua pandangan tertuju pada Firman.

“Ada apa, Man?” Tanya Diga.

“Itu … manusia, ‘kan? Pendaki pingsan? Apa saya salah lihat?” Tanyanya seraya mengarahkan senternya ke arah kanan dari posisi mereka berdiri.

“Iya, Man, itu manusia,”  jawab David, diikuti dengan Diga dengan anggukannya. Sedangkan Brama, ia ragu. Karena sebenarnya dia masih trauma dengan kejadian di Gunung Lawu, di mana tak sengaja masuk ke pasar gaib.

“Sebentar, Kawan! Gue nggak yakin dia manusia.” Pria berambut gondrong itu menarik carrier David, tangannya gemetar.
David memutar bola matanya malas dan berkacak pinggang. “Jangan ngadi-ngadi. Dia manusia, Bram. Kita semua liat, kok.”

Firman dan Diga sampai lebih dulu dan benar saja dugaan mereka, seorang perempuan tergeletak tak sadarkan diri di bawah pohon.

“Biar saya periksa.” Firman memegang tangan kanan pendaki tersebut, dan beruntung masih berdetak meskipun lamban. Ia terdiam beberapa saat tatkala melihat wajahnya, wajah yang tidak asing lagi bagi Firman.

Alena?”

“Gimana, Man?” Satu kali, pertanyaan dari Diga tak ia gubris. Kali ini, pria yang berprofesi sebagai psikolog itu menepuk pundaknya.

“Man? Are you okay?”

“Dia masih hidup, Dig.”

“Serius? Alhamdulillah ….”

Pria dengan tinggi 180 cm itu mengeluarkan kotak P3K dari dalam carrier nya.

“Mbak, Mbak, apakah Anda bisa mendengar suara saya? Mbak?” Tak ada jawaban, gadis itu tetap saja menutup matanya.

Luka Yang Terobati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang