Will You Marry Me, Nisa?

146 30 101
                                    

"Kala hati menemukan kuncinya, maka tak ada alasan lagi untuknya dapat menolak kehadirannya."

🌹🌹🌹

Satu minggu terhitung setelah keluarnya Nisa dari rumah sakit, malam ini Firman mengajaknya pergi makan malam di Taman Cendana. Alunan lagu Cinta Sejati menemani mereka dalam malam yang indah nan syahdu ini. Di atas sana, bintang-bintang menghiasi angkasa, menemani bulan sabit yang melengkung sempurna.

"Dalem banget lagunya, jadi inget Eyang Habibie dan Eyang Ainun," gumam Nisa meresapi lagu yang didengarnya, seraya menyendok capcay.

"Benar. Daridulu, saya mengidolakan beliau sampai-sampai menginginkan pasangan hidup seperti Eyang Ainun," sahut pria itu tersenyum lebar. "Dan, sepertinya saya telah menemukan Ainun, itu." Timpalnya lagi.

Gadis itu menghentikan aktifitasnya mendadak, entah mengapa dadanya terasa sesak mendengarnya, bibirnya tersenyum getir. "Wah, beruntung banget, 'ya, cewek itu. Punya calon kayak Eyang Habibie,"

"Bukan dia yang beruntung, tetapi saya yang beruntung bisa menemukan sosok Ainun di Yogyakarta, ini." Firman tersenyum melihat ekspresi Nisa, sesekali ia meliarkan pandangannya ke segala arah.

"Dokter sangat baik, kalian berdua beruntung bisa saling memiliki," ucapnya pelan. "Sesakit inikah, Ya Allah? Rasanya lebih sakit ditolak kampus impian ...."

"Nisa, panggil saya seperti biasanya saja. Saya tidak merasa keberatan, kok. Dan lagipula saya sudah menganggap Anda sebagai teman saya, teman hidup maksudnya," ucapnya, tentunya ia lanjutkan dalam hati.

Gadis dengan hijab kremnya itu mengangguk pelan, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Pun dengan lagu yang kini telah berganti, lagu romantis sepertinya akan mendominasi telinganya malam ini.

"Nisa, tak salah lagi kau adalah orang yang selama ini saya cari. Ya Allah, terima kasih karena Engkau telah menghadirkan Nisa ke dalam hidupku."

Di tengah jamuan mereka, samar-samar Nisa mendengar suara orang-orang yang familiar di telinganya. Sontak, ia membalikkan badannya ke belakang.

Netranya membulat, alisnya tersentak bersamaan tatkala melihat kedua orang tuanya tengah berjalan mendekatinya. "Ibu, Bapak?!" Tanpa menunggu lama, Nisa segera berlari dan jatuh ke dalam pelukan sang ibu.

"Ya Allah, Ndok, ibu kangen banget sama kamu ...." Tak hanya cukup di situ saja rupanya Bu Siyah dan Pak Hendra juga datang sebagai kejutan untuk Nisa. Kini, mereka berkumpul dalam satu meja dengan wajah yang berseri-seri.

"Nak Nisa pasti bingung kenapa kita kumpul bareng, 'kan?" Tanya Pak Hendra melihat gadis itu kebingungan dan penuh dengan segudang pertanyaan.

"I--iya, Pak."

Sekilas Firman melirik kedua orang tuanya, mereka pun mengangguk. Suasana mendadak hening dan tegang sekarang.

Kini, netra Firman tertuju pada gadis yang duduk di antara Bu Siyah dan Bu Ani. Sesekali, pandangan mereka beradu tetapi lagi dan lagi Nisa langsung menundukkan pandangannya.

"Khaerunnisa Indah Paramitha." Panggilan kali ini sukses membuat hatinya berdebar-debar, bahkan ia kesulitan meneguk salivanya sendiri.

"I--Iya, Mas Firman?"

"Nggak usah gugup, Nis, ini bukan lagi sidang skripsi. Santai aja, kali." Andra, kakaknya itu baru saja datang dan bergabung di meja mereka, sontak hal itu menimbulkan gelak tawa.

"Lanjutkan, Firman."

"Nisa tahu? Sejak saat pertama kali saya melihatmu, saya mengira bahwa kau adalah Alena, mendiang adikku yang sudah meninggal. Jujur saja, saya merasakan sesuatu yang aneh yang belum pernah dirasa sebelumnya. Kata orang, sih, jatuh cinta," tutur pria dengan kemeja batiknya itu.

Luka Yang Terobati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang