"Hati saya telah menemukan rumah yang tepat 'tuk jadi persinggahannya, olehnya sejauh manapun saya pergi, saya akan tetap kembali di rumah yang sama untuk pulang."
✨✨✨
"Pak Doktel, ngapain ke rumah sakit? Bukannya mau ke istri Pak Doktel, ya?"
Pria itu melemparkan senyuman pada gadis kecil yang menggemaskan dengan pakaian serba merah mudahnya. "Iya, kita nggak salah kok. Sebentar lagi, Eryn akan ketemu sama dia."
Sampailah di ruangan Krisan, di mana seorang perempuan yang masih lelap dalam tidur panjangnya ada di sana.
Dengan perlahan, mereka menghampiri brankar itu. Tampak Erryn sangat kebingungan dengan maksud Firman membawanya ke sini.
"Dia siapa? Kenapa kakak cantik ini bobo aja, Pak Doktel? Kakak sakit, 'ya?"
"Namanya Kak Nisa, dia istri Pak Doktel," jelas Firman
"Erryn mau ngomong sama Kak Nisa? Ngomong aja, siapa tahu langsung didengar sama kakak cantik itu,"
Sontak, anak itu mendekatkan wajahnya ke telinga Nisa. "Assalamualaikum, Kakak cantik. Kak bangun, yuk?"
"Kakak cantik, jangan lama-lama tidulnya di sini, Elin mau main juga sama Kakak," anak itu terkekeh kecil, lalu meraih tangan kanan Nisa, menempelkan ke pipinya.
"Ini pipi Elin, Kak, Kakak Canntik bangun, 'ya?"
Tanpa sadar, buliran bening itu menetes, membasahi kedua pipinya. Firman tersenyum, ia benar-benar melihat ikatan yang begitu kuat layaknya ikatan ibu dan anak meskipun hingga saat ini istrinya belum juga membuka matanya.
Tanpa aba-aba, Erryn tiba-tiba menengadahkan kedua tangannya. Sontak, Firman pun mengikuti hal yang sama. "Ya Allah, sembuhin kakak cantik ini, biar Om Doktel nggak sedih lagi, Ya Allah. Aamiin ...."
Lagi, tingkah anak itu membuat hatinya terenyuh. Dengan senyuman yang terukir, serta kedua manik matanya yang silau sebab air mata yang tertahan.
Dibelainya lembut kepala Erryn, anak itu tersenyum menatapnya. "Pak Doktel jangan sedih, bentar lagi kakak cantik ini bangun, kok."
"Hati mungil gue pliss nggak bisa liat kayak gituan," ujar Brama yang melihat momen Firman dari balik kaca pintu.
"Gue penasaran banget sama reaksi Nisa pas tau dia udah nikah, nggak bisa ngebayangin gue. Bangun dari koma tiba-tiba statusnya udah berubah aja udah kayak di wettped-wettped gitu."
Kesal, lantaran ucapannya tak digubris sama sekali oleh pria di sampingnya, ia pun menyikut tangan kanan kawannya yang seketika terbuyar dalam lamunannya.
"Ganggu aja sih, Bram, nggak tau orang lagi baper apa!" Diga mendengkus kasar.
"Jangan keras-keras dong, kalau yang di dalem tau gimana?"
"Gini amat jadi jomlo, ya, Bram. Hamba pen nikah, Ya Allah ...."
"Sabar, Pak, makannya kalau ada yang naksir tuh langsung di-acc, jangan dianggurin aja. Mampus tuh jomlo 27 tahun," cibir Brama.
"Emangnya skripsi bisa di-acc segala? Masalahnya saya belom nemuin orang yang tepat euy," Diga membela dirinya.
"Iya deh si paling tepat, dasar jomlo!"
Sementara itu di tempat lain, nampak wanita yang kondisinya sudah sangat memprihatikan itu tengah duduk termenung seorang diri. Punggungnya yang berat disandarkan pada dinding yang catnya mulai terkelupas itu. Punggungnya berat, karena tak mampu menahan beban.
Meski netranya menatap ke depan, pikirannya melayang nan jauh terbang di atas sana. Entahlah, ia juga tidak tahu apa yang tengah dialaminya saat ini.
Rambut panjangnya yang sudah tak terurus dibiarkan tergerai begitu saja, pun dengan kulitnya yang mulai mengusam. Hanya karena cinta sampai-sampai menyeretnya ke dalam neraka dunia ini.
"Lo menang, gue udah kalah, kalah," lirihnya.
"Ya, wanita kayak gue nggak pantes dapetin lo. Bahkan, dosa yang telah gue perbuat nggak akan bisa buat dimaafin,"
"Tapi, Firman ... apakah gue boleh berharap kalau Lo maafin gue? Please ... temui gue walau cuma sebentar di sini, di tempat ini,"
"Saudari Rena, Anda dibesuk oleh seseorang di depan," seorang sipir tiba-tiba menghampirinya, bukannya senang ada yang menjenguknya, tetapi raut wajahnya berkerut masam seakan tak suka ada yang ingin menemuinya.
Bukan tanpa sebab, ia hanya tak ingin dilihat oleh orang yang dulunya dipandang penuh pujian, kini banjir akan hinaan dari segala arah. Seolah jeruji besi adalah tempat satu-satunya di muka bumi yang sanggup menampungnya.
Dengan langkah lunglai, perlahan ia menapaki kedua kakinya.
"F--Firman?!"
Pria itu tersenyum melihat kedatangan Rena, namun lengkungan di wajahnya itu tak bertahan lama. Amarahnya kembali tersulut, sampai kapanpun tak akan melupakan kejadian itu.
"Kau menjengukku, Man? Apa ini mimpi?"
"Jangan percaya diri dulu, saya tidak sedang menjenguk sahabat lama saya, tetapi narapidana pembunuh Alena. Dan sampai kapanpun saya tidak akan memaafkan Anda,"
"Man?"
"Please ... beri gue kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahan itu." di hadapannya, Rena menangkupkan kedua telapak tangannya dengan raut penuh penyesalan yang mendalam.
"Atas apa yang sudah terjadi, Anda mengharap sebuah kesempatan? Lucunya,"
Seringai miring di sudut bibirnya seraya menatap wanita itu dengan penuh intimidasi. "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya terjatuh jua. Begitu juga dengan sepandai-pandainya tikus menyembunyikan bangkainya, akhirnya tercium juga."
Lama mereka membisu dalam diamnya, seperkian detik wanita itu menggebrak meja dengan keras. "Lo mojokin gue seolah cuma gue dalangnya, padahal lo adalah sebabnya. Gue memang jahat, tapi lo juga lebih jahat dengan memberi sebuah harapan,"
"Lo pembohong besar, Man."
"Lo adalah dalang dibalik peristiwa yang menimpa keluarga Abimanyu."
"ZERENNA GABRIELA ELIZABETH!" Firman menaikkan satu oktaf suaranya hingga memenuhi satu ruangan.
"Apa? Nggak terima, 'ya?"
"Cewek mana yang nggak baper diperhatiin lebih, diperlakukan khusus layaknya seorang ratu, dan tutur kata lo seolah gue prioritasnya!"
"Brengsek banget jadi cowok. Ok fine, gue akuin Lo berhasil jadi dokter yang hebat, tapi Lo nggak berhasil jadi cowok yang ngejaga ucapannya pada satu wanita. Kasian Nisa, dia nggak salah apa-apa, tapi dia yang paling terluka dalam hal ini ...."
"Cukup Rena!" Gebrakan di meja yang keras membuat wanita itu mematung. Wajah pria di hadapannya benar-benar merah, sampai jari tunjuknya tepat berada di depan wajahnya.
"Bahkan, semut di seberang lautan akan tetap terlihat di matamu, sedangkan gajah yang ada di hadapan mata tak terlihat sama sekali. Gue harap ... Lo sadar atas kesalahanmu sendiri,"
Rena beranjak dari duduknya, sembari memberi seringai miring pada Firman. Wanita itu kembali ke dalam sel, sebelum itu ia memberikan kata terakhirnya tanpa menatap lawan bicaranya. "Renungilah itu, Tuan Firmansyah Fairuzi Abimanyu."
Beberapa menit, Firman termangu dalam ruangan itu. Ia larut dalam pikirannya. Entah mengapa merasa bahwa ucapan Rena itu benar. Ia pecundang.
Sebuah panggilan ponselnya membuyarkan lamunannya.
"Man, kamu di mana? N--Nisa, Man! Nisa!!" suara Andra di seberang terdengar gemetar.
"Saya otw, Mas!
"Nisa, saya harap kamu baik-baik saja di sana. Tunggu Mas, ya? Jangan tinggalin saya sendirian ...."
✨✨✨
Apa yang kamu dapat dalam part ini? Yuk, coret-coret yaaa ✨✨
Sebuah pesan untuk .....
Firman?
Rena?
Nisa?
Terima kasih sudah mampir! Jangan lupa tinggalkan jejak, ya!🤍
SPAM 🤍🤍 untuk lanjut ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang Terobati (END)
Genel Kurgu[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] The Fragavidma dikejutkan dengan penemuan seorang pendaki yang tak sadarkan diri di lembah hantu, ternyata mempunyai wajah yang serupa seperti mendiang Alena. Namun, siapa sangka pertemuan itulah justru menjadi awal lembaran...